Jumat, 25 Desember 2020

Pewaris Bumi Itu Sendiri

Belakangan saya sangat menyenangi menonton video-video woodworking di platform YouTube. Ishitani Furniture, Kobeomsuk Furniture, dan A Craftsmans Legacy adalah beberapa akun yang kerap saya kunjungi di antara yang lainnya. Di umur saya yang berkepala tiga ini, video-video tersebut secara mengejutkan, sangat menenangkan bagi diri saya pribadi. Bagaimana tanpa berkata-kata, para tukang kayu bekerja dengan visi dan dedikasi kepada profesi mereka: Mulai dari cetak biru dan pemilihan kayu, penggunaan perkakas tertentu untuk membentuk bagian tertentu, teknik berbeda untuk menghasilkan bagian berbeda. Semua proses itu berujung kepada perfeksionisme dalam bentuk dan fungsi sebuah produk jadi, dalam kesederhanaan wujudnya.

Dorongan saya untuk menjelajah kepada video-video tersebut adalah ingatan saya kepada Buku Lima Cincin karya Miyamoto Musashi. Ronin legendaris itu menyampaikan, untuk menguasai jalan atau way atau dou dalam falsafah Taoisme, seseorang mesti mempelajari jalan-jalan pada profesi lain. Musashi mempelajari seni pertukangan kayu untuk merampungkan pemahaman seni pedang dan perang yang ia dalami. Kita memahami, Musashi adalah seorang manusia multi dimensi, yang tidak hanya menguasai seni pedang dan perang, tapi juga lukis dan tulis, pembelajar kehidupan itu sendiri.

Belakangan saya menemukan, alasan sesungguhnya saya menyenangi menonton video-video tersebut adalah sebentuk pelarian diri dari drama kehidupan yang tak pernah sudah itu sendiri. Dalam video-video tersebut, saya menonton tanpa proses pikir dan rasa, membiarkan diri saya terpapar laku pertukangan kayu atas sebuah kreasi. Yang pada akhirnya menjadi sebentuk terapeutik, yang berpuncak kepada renjana saya kepada kebertukangan(craftsmanship) bercerita yang saya geluti.

Pelarian tersebut mungkin karena rasa muak saya dengan apa yang terjadi dengan sekeliling belakangan ini. Enam orang anggota Front Pembela Islam mati tertembak oleh peluru polisi atas sebuah insiden bentrokan, yang bermula dari kembalinya Sang Imam Besar dari pelariannya di luar negeri. Sebelum itu adalah ajakan revolusi moral yang negara lihat sebagai upaya subversi, sebelum itu adalah pelanggaran berkerumun di situasi pandemi, sebelum itu adalah vandalisme fasilitas umum pada penjemputan Sang Imam Besar sendiri.

Mungkin saya terlalu berlebihan dalam melihatnya. Namun bagi saya, apa yang terjadi itu adalah puncak gunung es di mana bayangan raksasa yang tak terjangkau media diam-diam menggeliat di bawah garis air. Mungkin juga butuh penelitian mendalam untuk mempelajari fenomena sosial belakangan ini. Namun, keresahan saya akan situasi zaman, membuat saya berpikir, kejadian tersebut memiliki akar yang lebih dalam dari sekadar perseteruan antara satu organisasi dengan organisasi lain. Mengingat yang berseteru juga adalah sesama melayu seperti diri kita ini.

Yang terang bagi saya, saya sudah sulit mengikuti perkembangan apa yang terjadi dalam media sosial, di mana gesekan terus terjadi dalam lingkar pergaulan manapun. Netizen kerap melontarkan pernyataan yang terlalu menyengat dengan emosi mentah yang membayanginya tanpa sebuah proses kontemplasi mendalam. Banyak faktor yang melatari itu semua, tentu saja. Banalitas kita dalam menyerap informasi yang sepotong-sepotong dari kitab besar lini masa media sosial dan kekecewaan dan ketidakpuasan kenyataan hidup, sehingga, dalam ruang media sosial, emosi negatif adalah kendaraan untuk memenuhi eksistensi secara semu, mentah, dan dangkal.

Lebih dari itu, saya melihat, dan mungkin saja saya salah, bahwa masyarakat kita masih terlalu emosional alih-alih rasional. Emosi kita masih terlalu mentah untuk dihidangkan sehingga drama picisan yang menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia jadi tak terhindarkan. Kerumunan tanpa daya pikir matangnya sendiri, menjadi ekses berbahaya bagi perkembangan mental organisme raksasa yang disebut bangsa. Saya tidak tahu, kepada siapa kita harus menyalahkan ini. Pemerintah? Pemuka agama? Pendidikan? Zaman? Masalah ini sudah menjadi terlalu kompleks sehingga antagonisme kepada pihak tertentu adalah sikap yang terburu-buru.

Keresahan yang saya alami, terlepas dari diri saya yang belum selesai (mungkin tidak akan pernah selesai) ini, membuat saya berkaca kepada Abad Pertengahan Eropa ketika agama menguasai negara sebelum terbitnya renaisans yang gilang-gemilang itu. Di masa itu, ketika rasionalisme adalah anak tiri zaman dan pemuka agama memusatkan semesta kehidupan kepada iman, karena keyakinan memang irasional alih-alih rasional, menciptakan sebuah kengerian masif dari emosi dan akal yang mentah: Hukum mati Kopernikus yang menyatakan kebenaran pusat tata surya, pembakaran para penyihir wanita di Salem, penebusan dosa hanya dengan pembayaran sejumlah uang.

Apakah bangsa ini sedang menghadapi abad kegelapannya sendiri, sebelum tokoh-tokoh tertentu di masa yang akan datang menyuarakan rasionalisme baru sehingga, kita akan sampai kepada pintu gerbang gelombang kebudayaan yang dinanti-nanti?

Keresahan saya ini mungkin terdengar halu dan parno dan baper. Namun perasaan itu nyata saya alami sebagai seorang anak zaman. Tentu saja persoalan kehidupan yang terjadi pada abad 21 ini jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan Abad Kegelapan Eropa. Namun, gelembung-gelembung (kotak-kotak) yang semakin bersitegang oleh pemanfaatan teknologi informasi, tipisnya empati dan rasionalitas, serta emosi mentah yang merasuk, menciptakan gerombolan massa zombi, yang merong-rong membabi-buta sudut-sudut kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.

Sebagaimana Yuval Noah Harari sebut dalam buku-bukunya, persoalan yang melampaui agama atau negara atau pandangan hidup sempit tertentu. Mungkin memang, kita membutuhkan sejenis pemikiran, di mana saya tidak lagi merasa bahwa saya hanyalah seorang muslim atau kafir, feminis atau patriarkis, kebaratan atau ketimuran, melainkan humanis, pewaris bumi itu sendiri.

Sabtu, 28 November 2020

Women from the Moonlight


Aku membuka pesan dari Luna tepat setelah Mentari tertidur di sebelahku. Malam ini harusnya menjadi malam yang spesial untuk kami. Perayaan ulang tahun pernikahan kami yang ke-3 yang bertepatan dengan malam Jumat di mana kami telah menjadwalkannya untuk bercinta. Namun pekerjaan terlalu menumpuk dan Mentari sedang memiliki suasana hati yang tidak baik. Dan pada hari ini juga, seharian aku membiarkan pesan dari Luna tak terbaca hingga Mentari tertidur: Tidakkah kau merindukanku?

Aku tahu malam ini Purnama. Di saat aku menyibak gorden yang ada di belakang ranjang, cahayanya cukup kuat menerangi kamar yang gelap ini, dan kau pun membuka pintu, mengendap-endap menghampiriku agar Mentari tak terusik, kemudian menjemput tanganku dan menarikku keluar kamar.

Aku tidak tahu apakah adegan ini nyata namun masih kuingat kuat adegan detailnya: caramu menyembuhkanku, merawat lukaku, memberikan kecupan di sayap patahku, agar katamu, menjadi lekas sembuh dan aku bisa terbang lagi. Tanpa berkata, kau memelukku, mendendangkan ninabobo yang mengingatkanku kepada ibu.

Masih dalam keadaan mengantuk, dengan mata yang tidak sepenuhnya terjaga, Mentari bersandar di bahu sofa, memainkan rambutku hingga aku terbangun. Dia tersenyum dan mengatakan kepadaku, aku akan menunggumu di atas ranjang.

Minggu, 23 Agustus 2020

Gajah Hilang oleh Haruki Murakami








Aku membacanya dari koran, ketika gajah itu menghilang dari rumah gajah kota kami. Alarm jamku seperti biasa membangunkanku pada 6.13. Aku pergi ke dapur, membuat kopi dan memanggang roti, menyalakan radio, membentangkan koran tersebut di meja dapur, dan melanjutkan mengunyah dan membaca. Aku adalah salah satu orang yang membaca koran dari awal hingga akhir, berurutan, sehingga membutuhkan sedikit waktu bagiku untuk sampai di artikel tentang gajah yang hilang. Halaman utama diisi oleh cerita-cerita dari SDI dan friksi perdagangan dengan Amerika, setelah aku menjajaki berita-berita nasional, politik internasional, ekonomi, surat redaksi, ulasan buku, iklan properti, laporan olahraga, dan akhirnya, berita-berita regional.

Artikel tentang gajah menjadi berita utama di halaman regional. Judul utama yang ukurannya tak biasa, menangkap perhatianku: Gajah Hilang di Pinggir Kota Tokyo, dan di bawahnya, yang hurufnya dicetak lebih kecil, Ketakutan Warga Menumpuk, Beberapa Menginginkan Penyelidikan. Terdapat foto seorang polisi sedang memeriksa rumah gajah yang kosong. Tanpa sang gajah, sesuatu mengenai rumah tersebut tampak ganjil. Terlihat lebih besar dari yang dibutuhkan, kosong melompong seperti monster raksasa dehidrasi yang bagian dalamnya telah dikeluarkan.

Seraya membersihkan remah roti panggang, aku menyigi setiap baris artikel tersebut. Ketidakhadiran sang gajah pertama kali disadari terjadi pada pukul dua siang tanggal 18 Mei—sehari sebelumnya—ketika orang dari perusahaan makan siang sekolah mengantarkan muatan makanan mereka biasanya (gajah itu terbiasa memakan sisa makan siang sekolah dasar sekitar). Di lantai, masih terkunci, teronggok belenggu baja yang biasa terikat kencang di kaki belakang gajah, seakan gajah itu telah meloloskan kakinya dari sana. Penjaganya juga lenyap, seseorang yang semenjak awal telah menjaga, merawat dan memberi makan sang gajah.

Berdasarkan artikel itu, gajah dan penjaganya terakhir terlihat sekitar pukul lima lewat, hari sebelumnya (17 Mei) oleh beberapa murid sekolah dasar, yang mengunjungi rumah gajah untuk membuat sketsa menggunakan krayon. Koran itu menyebutkan murid-murid ini pasti menjadi yang terakhir melihat gajah, semenjak penjaganya selalu menutup gerbang menuju rumah gajah ketika alarm pukul enam sore menjerit.

Berdasarkan pernyataan beberapa murid, pada saat itu tidak ada hal yang tidak biasa terjadi baik terhadap sang gajah ataupun penjaganya. Gajah itu berdiri di tempat biasa ia berdiri, di tengah kandang, yang terkadang menggoyang-goyang belalainya dari sisi ke sisi atau menyipitkan matanya yang berkerut. Sang gajah terlihat begitu ringkih sehingga gerakannya memerlukan upaya yang luar biasa—begitu sering sehingga orang-orang yang pertama kali melihatnya khawatir sang gajah bisa roboh kapan saja dan menarik napasnya yang terakhir.

Mengingat umur gajah itu, mau tidak mau memintanya diadopsi oleh balai kota kami setahun lebih awal. Ketika masalah finansial melanda kebun binatang swasta yang terletak di ujung kota untuk menutup pintu-pintunya, seorang pedagang alam liar menemukan tempat untuk binatang yang lain di kebun binatang di seluruh negeri. Tapi seluruh kebun binatang memiliki banyak gajah, rupanya, tidak satu pun dari mereka yang ingin mengambil binatang tua rapuh yang terlihat hendak mati disebabkan serangan jantung yang bisa datang kapan pun juga. Dan begitulah, setelah rekan-rekannya hengkang, sang gajah tinggal sendirian di kebun binatang yang sedang membusuk, empat bulan tanpa melakukan apa pun—tidak pun ada yang dapat dilakukan sebelumnya.

Hal tersebut menyebabkan banyak kesulitan, baik untuk kebun binatang dan balai kota. Kebun binatang telah menjual tanahnya kepada pengembang, yang merencanakan membangun gedung kondominium mewah, dan balai kota telah mengisyaratkan memberikan izin. Semakin lama masalah gajah ini dibiarkan tidak terselesaikan, semakin tertarik pengembang untuk tidak membayar apa pun. Tetap saja, membunuh binatang itu begitu saja merupakan di luar pertanyaan. Kalau saja yang tersisa adalah monyet atau kelelawar, mereka mungkin telah menyingkirkannya, tapi pembunuhan seekor gajah terlalu sulit ditutupi, dan kalau hal itu dilakukan setelahnya, pasti akan datang gelombang kecaman yang luar biasa. Dan begitulah berbagai macam partai bertemu untuk membicarakan permasalahan tersebut, dan mereka menyetujui dan merumuskan pemindahan gajah:

1.      Balai kota akan mengambil alih kepemilikan sang gajah tanpa biaya apa pun.
2.      Pengembang tanpa konpensasi harus menyediakan lahan untuk tempat tinggal gajah.
3.      Pemilik kebun binatang sebelumnya bertanggungjawab membayar upah penjaga gajah.

Aku memiliki ketertarikan pribadi terhadap permasalahan sang gajah dari awal ia mengemuka, hingga aku memiliki sebuah buku yang menyimpan kliping-kliping yang bisa aku temukan tentangnya. Bahkan aku hingga mengunjungi perdebatan dewan kota terhadap masalah tersebut, yang dengan kata lain menjadi alasan kenapa aku sanggup memberikan penjelasan akurat seputar permasalahan. Dan ketika pandanganku entah bagaimana bisa membuktikan panjang lebar, aku mencurigai keadaan penanganan permasalahan gajah ini pasti memiliki hubungan dengan hilangnya gajah itu.

Ketika walikota selesai bernegosiasi terhadap kesepakatan—dengan provisi bahwa balai kota akan mengurus sang gajah—sebuah gerakan untuk menekan keputusan itu mengemuka dari dalam jajaran partai oposisi (yang keberadaannya tidak pernah aku bayangkan sebelumnya). “Kenapa balai kota mesti mengambil kepemilikan gajah itu?” mereka mendesak walikota, dan mereka mengungkapkan beberapa poin berikut (maaf untuk semua daftar ini, tapi aku menggunakannya untuk mempermudah pemahaman):

1.      Masalah gajah ini merupakan masalah perusahaan swasta—antara kebun binatang dan pengembang; tidak ada alasan bagi balai kota untuk terlibat.
2.      Perawatan dan pakannya akan menghabiskan biaya mahal.
3.      Apa yang walikota harus lakukan terhadap permasalahan pengamanan?
4.      Apakah pantas sebuah balai kota memiliki gajahnya sendiri?

“Balai kota memiliki terlalu banyak masalah yang harus diurus sebelum mengurusi seekor gajah—perbaikan selokan, pembelian sebuah pembangkit listrik baru, dan sebagainya,” kelompok oposisi mendeklarasikannya, dan selagi mereka tidak mengatakannya dengan kalimat bertele-tele, mereka menengarai adanya kemungkinan perjanjian di bawah tangan antara walikota dengan pengembang.

Sebagai respon, walikota mengatakan seperti berikut:
1.      Jika balai kota mengizinkan pembangunan kondomunium mewah itu, penerimaan pajak akan meningkat drastis dan biaya perawatan seekor gajah tidak begitu signifikan jika dibandingkan; apabila balai kota mengurus sang gajah.
2.      Sang gajah terlalu tua sehingga tidak akan berlebihan atau membahayakan siapa pun.
3.      Ketika gajah itu mati, balai kota akan mengambil alih penuh kepemilikan lahan yang didonasikan pengembang.
4.      Sang gajah bisa saja menjadi ikon kota.

Perdebatan panjang itu akhirnya mencapai titik kesepakatan bahwa balai kota akan mengurus dan membiayai sang gajah. Sebagai kota satelit yang tua dan teratur, balai kota itu mendongkrak kekayaan warga secara relatif, dan menjadi tumpuan finansial yang kuat. Adopsi dari gajah tua tak berumah menyentuh hati orang-orang. Mereka lebih menyukai gajah tua dibanding selokan dan pembangkit listrik.

Aku sendiri lebih senang kalau balai kota yang mengurus sang gajah. Betul, aku muak dengan kondomunium mewah, tapi aku menyukai ide, kotaku memiliki seekor gajah.

Area dengan pepohonan dirambah, dan gedung olahraga tua milik sekolah dasar dipindahkan ke sana sebagai rumah gajah. Seorang pria yang telah membaktikan dirinya sebagai penjaga sang gajah untuk bertahun-tahun akan tinggal di rumah itu bersamanya. Sisa makan siang murid-murid dijadikan pakan sang gajah. Akhirnya, gajah itu diangkut dengan karavan menuju rumahnya yang baru, tinggal di sana di sisa-sa tahunnya.

Aku bergabung dengan kerumunan pada saat perayaan dedikasi rumah sang gajah. Berdiri di hadapan sang gajah, walikota membawakan sebuah pidato (demi pengembangan dan pengayaan fasilitas kebudayaan kota); salah seorang siswa sekolah dasar menjadi wakil komite murid, berdiri membacakan sebuah karangan (tolong berumur panjang dan sehat selalu, Tuan Gajah); juga terdapat lomba menggambar (menggambar gajah telah menjadi bagian tidak terpisahkan pendidikan seni siswa) dan sepasang wanita berlenggak-lenggok menggunakan gaun (tidak ada satu pun yang berpenampilan menarik) memberi makan sang gajah dengan setumpuk pisang. Sang gajah melewati perayaan ini tanpa mengerti satu pun (benar-benar tidak ada artinya bagi sang gajah) formalitas yang sama sekali tak menyentuh ini, dan ia mengunyah pisang-pisang itu dengan tatapan kosong. Pada saat ia selesai memakan pisang semua orang bertepuk-tangan.

Di kaki kanan depannya, sang gajah menggunakan belenggu baja yang terlihat berat dan kokoh yang terikat dengan rantai tebal dengan panjang tiga puluh kaki, yang terkebat erat kepada sebuah penyangga. Siapa pun dapat melihat betapa keras jangkar untuk membelenggu sang gajah: sang gajah dapat berjuang dengan segenap kekuatannya selama seratus tahun dan tidak akan pernah bisa memutus belenggunya.

Aku tidak dapat memastikan apakah sang gajah terganggu dengan belenggunya. Di permukaan, setidaknya, ia terlihat tidak sadar dengan bongkahan metal besar yang membungkus kakinya. Ia tetap termenung dalam titik ruang yang tak dapat diukur, telinganya yang lebar dan sejumput rambut putih di sekujur tubuhnya bergoyang perlahan dalam angin sepoi.

Penjaga gajah itu adalah seorang tua bertubuh kecil dan kurus. Sulit untuk menebak umurnya; ia bisa saja berumur awal enam puluhan atau akhir tujuh puluhan. Ia adalah salah satu orang yang penampilannya tidak lagi memiliki pengaruh oleh umurnya setelah mereka melewati titik tertentu dalam hidupnya. Kulitnya gelap dan kasar, tampak terpanggang matahari baik di musim panas dan musim dingin, rambutnya pendek dan kaku, matanya kecil. Matanya tidak memiliki karakter yang tegas, tapi telinganya yang hampir bundar menempel di kedua sisinya dengan tonjolan yang mengganggu.

Ia bukanlah orang yang tidak bersahabat. Jika seseorang berbicara dengannya ia akan menjawab, dan ia mengekspresikan dirinya dengan jelas. Kalau ia menginginkannya ia bisa saja menjadi menarik—meskipun kau selalu tahu ia, entah kenapa selalu terlihat canggung. Secara umum, ia terlihat segan, dan merupakan orang tua penyendiri. Ia terlihat menyukai anak-anak yang mengunjungi rumah sang gajah, dan ia berusaha berperilaku baik terhadap mereka, tapi anak-anak tidak benar-benar ramah kepadanya.

Satu-satunya yang berlaku ramah terhadap si penjaga adalah sang gajah. Si penjaga tinggal di sepetak kamar kecil yang menempel dengan rumah gajah, dan sepanjang hari ia lalu bersama dengannya, berdasarkan kebutuhannya. Mereka telah bersama lebih dari sepuluh tahun, dan kau dapat merasakan kedekatan mereka dari gerak tubuh dan cara mereka memandang. Kapan pun sang gajah berdiri termenung dan si penjaga menginginkannya bergerak, semua yang perlu ia lakukan hanyalah berdiri di sebelah sang gajah, menepuk kaki depannya, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Lalu mengayunkan belalainya yang besar, sang gajah akan beranjak menuju tempat yang ditunjuk si penjaga, dan bergeser ke posisinya yang baru, dan melanjutkan memandang suatu titik di ruangan.

Akhir pekan, aku akan singgah di rumah sang gajah dan mempelajari kegiatan mereka, tapi aku tidak akan pernah memahami prinsip si penjaga dalam berkomunikasi dengan sang gajah. Mungkin sang gajah mengerti beberapa kata sederhana (tentu saja sang gajah sudah hidup lama), atau bisa saja sang gajah menyerap informasi melalui variasi tepukan di kakinya. Atau kemungkinan lain ia punya kekuatan khusus tertentu semacam telepati dan dapat membaca pikiran si penjaga. Sekali waktu aku bertanya kepada si penjaga bagaimana ia memberi perintah kepada sang gajah, tapi pria tua itu hanya tersenyum dan mengatakan, “kami sudah lama bersama.”

Dan begitulah setahun berlalu. Lalu, tanpa peringatan apa pun, sang gajah menghilang. Suatu hari ia berada di tempatnya, dan hari berikutnya sudah tidak ada lagi.

Aku menuangkan kopi kedua dan membaca kembali kisahnya dari awal hingga akhir. Sebenarnya artikel itu sungguh aneh—sejenis yang mungkin saja dapat bikin bergairah Sherlock Holmes. “Lihatlah Watson,” ia akan mengatakannya, dan menjentik pipa. “Artikel yang sangat menarik.”

Apa yang memberi artikel tersebut nuansa keganjilannya adalah kebingungan yang tidak biasa dan penjelajahan tuturan laporannya oleh si wartawan. Dan kebingunan dan penjelajahan ini dengan jelas datang dari absurditas situasi itu sendiri. Kau bisa melihat bagaimana si wartawan berjuang gigih untuk mencari cara paling pintar untuk menulis artikel tersebut dengan normal di sekitar absurditasnya. Tapi kegigihannya hanya membawa pembaca kepada kebingunan dan keheranan titik terekstrim keputusasaan.

Misalnya, artikel itu terbiasa menggunakan ekspresi seakan gajah itu telah melarikan diri, tapi kalau kau melihat kepingan informasinya secara keseluruhan, menjadi tidak mungkin gajah itu melarikan diri. Lenyap begitu saja di tengah udara yang tipis. Si wartawan mengungkapkan pernyataannya sendiri yang bertentangan dengan perkataan bahwa beberapa detail masih tidak jelas, tapi aku kira hal ini bukanlah fenomena yang dapat disimpulkan menggunakan terminologi biasa semacam detail atau ketidakjelasan.

Pertama, terdapat permasalahan belenggu baja yang terikat kencang terhadap kaki gajah. Yang setelah kehilangan, ditemukan masih terkunci. Penjelasan yang paling masuk akal untuk keadaan tersebut adalah si penjaga akan membuka kunci belenggunya, mencopotnya dari kaki sang gajah, dan mengunci belenggunya kembali, dan pergi keluar dengan sang gajah—sebuah hipotesis yang disebutkan koran tersebut dengan ketekunan putus asa meskipun si penjaga tidak memiliki kuncinya! Hanya terdapat dua kunci, dan mereka, demi alasan keamanan, tersimpan di kotak terkunci, satu di kepolisian dan lainnya di kantor pemadam kebakaran, keduanya diluar jangkauan si penjaga—atau jika terdapat seseorang yang mungkin saja berusaha mencurinya. Dan bahkan kalau seseorang berhasil mencuri kunci, tidak perlu lagi orang itu mengembalikan kuncinya setelah digunakan. Pagi setelahnya kedua kunci itu didapati berada di kotaknya yang terkunci di kepolisian dan pemadam kebakaran. Yang menggiring kita kepada kesimpulan bahwa sang gajah menarik kakinya sendiri keluar dari belenggu baja tanpa bantuan kunci—kemustahilan absolut kecuali seseorang telah menggergaji kaki sang gajah.

Masalah kedua adalah rute pelarian. Rumah gajah dan pekarangannya dilingkupi oleh pagar berukuran besar dengan tinggi hampir sepuluh kaki. Pertanyaan keamanan telah diperdebatkan dengan sengit di dewan kota, dan balai kota akhirnya membikin sebuah sistem yang bisa dipastikan terlalu berlebihan untuk menjaga seekor gajah tua. Batangan baja berat ditanam di fondasi padat dan tebal (biaya pagar ditanggung oleh perusahaan properti), dan hanya terdapat pintu masuk tunggal, yang ditemukan terkunci dari dalam. Adalah mustahil bagi sang gajah untuk melarikan diri dari kandang serupa benteng ini.

Masalah ketiga adalah jejak sang gajah. Di belakang pagar rumah sang gajah, langsung berhadapan dengan bukit yang curam, di mana mustahil bagi seekor binatang untuk memanjatnya, sehingga kalau kita beranggapan bahwa sang gajah entah dengan cara apa dapat menarik kakinya dari belenggu baja dan melompat keluar dari pagar setinggi sepuluh kaki, ia tetap harus kabur menuruni jalan curam dari pagar tersebut, dan tidak ada satu pun tanda di tanah lunak jalan setapak itu yang dapat diduga sebagai jejak kaki gajah.

Teka-teki rumit dan kalimat membingungkan dari artikel koran itu hanya memungkinkan satu kesimpulan tersisa: bahwa sang gajah tidak kabur melainkan lenyap begitu saja.

Tidak dibutuhkan lagi penjelasan, bagaimanapun, baik dari koran atau polisi atau walikota, berniat mengakui secara terbuka bahwa gajah itu telah hilang. Kepolisian melanjutkan investigasi, juru bicaranya mengatakan, “gajah itu bisa saja diambil atau dibiarkan melarikan diri dengan cara yang cerdas, dan langkah terkakulasi. Sebab kesulitan yang terlihat untuk menyembunyikan seekor gajah, hanya masalah waktu hingga kita menyelesaikan kasus ini.” Kepada pernyataan optimis seperti itu ia menambahkan kepolisian merencanakan untuk mencari di dalam hutan di area tersebut dengan bantuan klub pemburu lokal dan penembak jitu dari Pasukan Bela Diri Nasional.

Walikota telah mengadakan jumpa pers, yang intinya permintaan maaf atas kekurangan sumber kepolisian kota. Di waktu yang bersamaan, ia mendeklarasikan, “sistem keamanan gajah kita tidak lebih buruk dibanding fasilitas yang sama dimiliki kebun binatang manapun di negeri ini. Bahkan, jauh lebih kuat dan jauh lebih aman dari kandang standar.” Ia juga menengarai, “ peristiwa ini berbahaya dan perlakuan anti-sosial yang tak berperi dan keji, dan kita tidak bisa membiarkannya tidak terhukum.”

Sebagaimana tahun sebelumnya, anggota dewan kota dari partai oposisi membuat tuduhan. “Kami berusaha untuk menyoroti tanggung jawab politik dari walikota; dia telah berkolusi dengan perusahaan swasta untuk menjual warga kota, hutang kebaikan atas solusi permasalahaan gajah ini.”

Salah seorang ibu yang terlihat khawatir (37) yang diwawancarai oleh koran mengatakan, “sekarang aku takut membiarkan anakku bermain di luar.”

Liputan itu meliputi sebuah ulasan ringkas secara kronologis hingga keputusan balai kota untuk mengadopsi sang gajah, sebuah sketsa denah rumah sang gajah dan pekarangannya, sejarah ringkas baik sang gajah maupun penjaganya yang turut menghilang. Penjaga tersebut bernama Watanabe Noboru (63) berasal dari Tateyama di Prefektur Chiba. Ia telah bekerja bertahun-tahun sebagai seorang penjaga seksi mamalia kebun binatang, dan “memiliki kepercayaan penuh oleh otoritas kebun binatang, sebab pengetahuannya yang berlimpah tentang binatang-binatang tersebut, dan tentu kepribadiannya yang jujur dan hangat. Sang gajah dikirim dari Afrika Timur dua puluh dua tahun sebelumnya, tapi hanya sedikit informasi mengenai umurnya sebenarnya atau tingkahnya. Laporan itu juga memasukkan permintaan kepolisian kepada warga kota untuk datang dan memberikan informasi yang mungkin berhubungan dengan sang gajah.

Aku memikirkan permintaan itu untuk beberapa saat selagi aku meminum kopiku yang kedua, tapi aku memutuskan tidak menghubungi kepolisian—di antaranya, disebabkan aku memilih tidak terlibat dengan mereka kalau memang aku bisa membantu, dan juga aku merasa polisi tidak akan mengerti apa yang aku katakan. Apa bagusnya memberitahu orang-orang bahwa tidak memiliki sang gajah sesederhana menghilang, tanpa memikirkan kemungkinan lain yang masuk akal.

Aku mengambil buku klipingku dari rak, memotong artikel tentang gajah, dan menyelipkannya. Lalu aku mencuci piring dan pergi ke kantor.

Aku menonton pencarian gajah itu pada berita pukul tujuh. Terdapat beberapa pemburu membawa senapan dengan laras besar, yang disi dengan jarum yang diberi obat bius, beberapa kendaraan tempur Bela Diri, polisi, dan pemadam kebakaran menyisir setiap inci hutan dan bukit di area terdekat seraya helikopter terbang berputar-putar di atas. Tentu saja, kita sedang membicarakan sejenis hutan dan bukit yang dapat kau temukan di pinggir Kota Tokyo, sehingga area pencarian itu tidak terlalu luas. Dengan begitu banyak orang terlibat, sehari saja lebih dari cukup untuk pencarian tersebut. Dan mereka tidak sedang mencari pembunuh maniak kecil: mereka sedang mencari gajah Afrika besar. Begitu terbatas daerah yang dapat menyembunyikan binatang sebesar itu. Tapi tetap saja mereka tidak dapat menemukannya. Kepala kepolisian hadir di layar dan mengatakan, “Kami akan terus mencari.” Dan pembawa berita menyimpulkan liputannya, “Siapa yang melepaskan sang gajah, dan bagaimana? Kemana mereka menyembunyikannya? Apa motif mereka? Segalanya masih berselimut misteri.

Pencarian itu berlangsung selama beberapa hari, klipingnya bukanlah sebuah fakta yang aku cari. Laporannya sendiri tak ada juntrungannya: Gajah Masih Menghilang, Pencarian Menemui Kebuntuan, Apakah Massa Terlibat? Bahkan artikel semacam ini menjadi semakin jarang setelah seminggu berlalu, hingga tak ada sama sekali. Beberapa majalah mingguan menyuguhkan berita sensasional—bahkan ada yang sampai menyewa cenayang—tapi mereka tidak membuat berita utama itu substantif. Tampaknya orang-orang mulai menganggap kasus menghilangnya gajah ini masuk dalam kategori “misteri yang tak terpecahkan.” Lenyapnya seekor gajah tua dan seorang penjaga gajah tua bisa jadi tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Bumi tetap melanjutkan rotasinya yang menjenuhkan, politikus akan melanjutkan menggoreng isu dengan pernyataan yang tak dapat diandalkan, orang-orang akan melanjutkan pergi ke kantor dengan menguap, anak-anak akan melanjutkan belajar demi menghadapi ujan masuk universitas. Di antara pasang surut rutinitas sehari-hari yang tak ada ujung, ketertarikan terhadap kehilangan gajah tidak akan berlangsung selamanya. Dan begitulah berbulan-bulan yang tidak menonjol berlalu, seperti tentara letih yang berlalu dari jendela.

Kapan pun aku memiliki waktu luang, aku akan singgah di rumah itu di mana tak lagi ditinggali sang gajah. Sebuah rantai telah dibungkus melingkari pagar baja pekarangan, agar tak ada orang yang masuk. Mengintip ke dalam, aku dapat melihat pintu rumah gajah itu dirantai dan terkunci, terkesan polisi mencoba untuk terlihat gagal mencari sang gajah dengan melapisi pengamanan rumah gajah yang sekarang kosong itu. Lingkungan itu terlihat tandus, keriuhan yang pernah ada digantikan dengan sekawanan burung dara yang beristirahat di atas atap. Tidak ada lagi yang mengurus pekarangan, dan rumput hijau musim panas yang tebal tumbuh lebat seakan menunggu kesempatan ini untuk tumbuh. Rantai yang dilingkarkan ke pintu rumah sang gajah mengingatkanku akan ular besar yang menjaga reruntuhan istana di hutan belantara. Beberapa bulan singkat tanpa sang gajah membikin tempat itu memiliki udara pengap dan menyedihkan seperti awan hujan yang besar dan mengancam.


Aku bertemu dengannya pada akhir September. Hari itu hujan berlangsung dari pagi hingga malam—jenis hujan yang lembut, monoton dan berkabut yang biasa turun di akhir tahun seperti itu, membasuh bersih sedikit demi sedikit kenangan musim panas yang membakar bumi. Melalui selokan, semua kenangan itu mengalir jauh ke dalam gorong-gorong dan sungai-sungai, hingga terbawa jauh ke kedalaman samudera gelap.

Kami menyadari kehadiran masing-masing pada sebuah pesta perusahaanku untuk meluncurkan kampanye pengiklanannya yang baru. Aku bekerja di seksi relasi publik sebuah perusahaan perangkat elektronik besar, dan waktu itu aku sedang bertugas mempublikasikan garis koordinat perangkat dapur, yang dijadwalkan meluncur di pasaran saat musim gugur dan musim dingin. Pekerjaanku adalah bernegosiasi dengan beberapa majalah wanita untuk membuat artikel—bukanlah jenis pekerjaan yang membutuhkan inteligensia yang besar, tapi aku harus memastikan bahwa artikel yang mereka tulis tidak serupa iklan. Saat majalah memberi kami publikasi, kami menghadiahi mereka dengan menaruh iklan di halaman mereka. Mereka mencakar punggung kami, kami mencakar punggung mereka.

Sebagai seorang editor sebuah majalah untuk ibu rumah tangga muda, ia perlu hadir di pesta itu untuk mengumpulkan materi artikelnya. Aku ditugasi mendampinginya berkeliling, menjelaskan fitur dari kulkas berwarna dan mesin pembuat kopi dan microwave, oven dan pembuat jus, yang didesain oleh desainer terkenal asal Italia.

“Yang terpenting adalah kesatuan,” aku menjelaskan. “bahkan perangkat dengan desain paling cantik pun akan mati jika tidak seimbang dengan sekelilingnya. Kesatuan desain, kesatuan warna, kesatuan fungsi: inilah yang dibutuhkan kit-chin (jp dapur) di atas yang lainnya. Sebuah penelitian mengatakan bahwa seorang ibu rumah tangga menghabiskan sebagian besar waktunya di kit-chin. Kit-chin adalah tempat mereka bekerja, belajar, hidup. Itulah kenapa mereka melakukan segalanya untuk membuat kit-chin menjadi tempat senyaman mungkin. Tak ada hubungannya dengan ukuran. Baik luas atau sempit, satu prinsip fundamental mengatur setiap kit-chin yang berhasil, dan prinsip itu adalah kesatuan. Inilah konsep yang menggarisbawahi desain serial perangkat baru kami. Lihatlah penutup wajan ini, misalnya…”

Ia mengangguk dan menggoreskan sesuatu di buku catatan kecil, tapi sungguh alamiah ia tidak begitu tertarik dengan materinya, tidak pula aku memiliki kesan pribadi terhadap tutup wajan yang baru itu. Kami berdua sekadar menjalani pekerjaan.

“Kau tahu banyak soal dapur,” katanya ketika aku selesai menjelaskan. Ia menggunakan kosa kata Jepang, tanpa menyebut kit-chin.

“Itulah yang aku lakukan untuk tetap hidup,” jawabku dengan senyum profesional. “Disamping itu, aku menyukai memasak. Bukan masakan yang mewah, tapi aku memasak untuk diriku sendiri setiap hari.”

“Tetap, aku heran kalau memang kesatuan yang dibutuhkan untuk sebuah dapur.”

“Kami menyebutnya kit-chin,” aku menyarankan. “Tak masalah, tapi perusahaan menginginkan kami menggunakan bahasa Inggris.”

“Oh. Maaf. Tapi tetap saja, aku heran. Apakah kesatuan begitu penting untuk sebuah kit-chin? Bagaimana menurutmu?”

“Pendapat pribadiku? Tidak mungkin bisa aku utarakan hingga aku mencopot dasi ini.” Kataku nyengir. “Tapi hari ini pengecualian. Sebuah dapur mungkin membutuhkan beberapa hal lebih dari sekadar kesatuan. Tapi unsur lain-lain itu adalah hal-hal yang tidak dapat dijual. Dan dalam dunia pragmatis kita ini, hal-hal yang tidak bisa dijual, tidak diperhitungkan.”

“Apakah dunia ini benar-benar pragmatis?”

Aku mengeluarkan rokok dan menyalakannya dengan korek gas.

“Aku tidak tahu—kata itu keluar begitu saja,” kataku. “Tapi hal itu menjelaskan banyak hal. Membikin pekerjaan lebih muda juga. Kau bisa bermain dengannya, membikin ekspresi rapih: ‘pragmatis esensial,’ atau ‘pragmatis dalam esensi.’ Kalau kau melihat dengan cara seperti itu, kau terhindar dari berbagai macam masalah pelik.”

“Pendapat menarik!”

“Tidak juga. Itulah yang dipikirkan semua orang. Oh, ngomong-ngomong, kami punya sampanye yang bagus. Mau coba?”

“Dengan senang hati.”

Selagi kami berbincang tentang sampanye, kami menyadari memiliki beberapa kesamaan. Semenjak bisnis kita bukanlah dunia dengan kolam yang besar, kalau kau melempar beberapa kerikil, satu atau dua kerikil akan bertemu gelombangnya. Sebagai tambahan, dia dan anak kakakku secara kebetulan lulus dari universitas yang sama. Dengan ini, perbincangan kami menjadi lancar.”

Ia tidak menikah, begitu pula aku. Ia berumur dua puluh enam, aku berumur tiga puluh satu. Ia menggunakan lensa kontak, aku menggunakan kacamata. Ia memuji dasiku, aku memuji jaketnya. Kami membandingkan sewa dan komplain tentang pekerjaan kami dan gaji. Dengan kata lain, kami mulai tertarik satu sama lain. Ia wanita yang menarik, dan tidak agresif sama sekali. Aku berdiri di sana berbincang dengannya selama duapuluh menit penuh, tak sanggup mencari tahu alasan tunggal untuk tidak berpikir baik kepadanya.

Pada saat pesta itu istirahat sejenak, aku mengajaknya ke lounge koktail hotel, di mana kami melanjutkan perbincangan kami. Hujan yang tak bersuara berjatuhan di luar jendela panoramik lounge, lampu-lampu kota mengirim pesan samar lewat kabut. Kesunyian yang lembab mengisi koktail lounge yang hampir kosong ini. Ia memesan daiquiri dingin dan aku memesan scotch dengan batu es.

Mencecap minuman kami, kami memperbincangan sesuatu sebagaimana seorang lelaki dan perempuan pertamakali bertemu di sebuah bar dan mulai tertarik satu sama lain. Kami bercakap tentang kehidupan kampus, selera kami terhadap musik, olahraga, rutinitas sehari-hari.

Kemudian aku memberitahunya tentang sang gajah. Bagaimana perbincangan ini terjadi, aku tidak begitu ingat. Mungkin kami sedang berbincang tentang sesuatu yang harus dilakukan terhada binatang, dan begitulah awalnya. Atau mungkin, secara tak sadar, aku sedang mencari seseorang—pendengar yang baik—dengan siapa aku bisa menyampaikan pandanganku yang unik terhadap hilangnya sang gajah. Atau, mungkin, bisa jadi minuman beralkohol yang membikinku berbicara tentang itu.

Dalam keadaan apa pun, setelah kata-kata kedua meluncur dari mulutku, aku mengetahui bahwa aku telah membawakan salah satu topik yang kurang pantas untuk dibicarakan pada keadaan seperti ini. Seharusnya aku tidak menyebut tentang sang gajah. Topiknya terlalu rumit, terlalu dekat.

Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan ke hal lainnya, tapi ia tampak lebih tertarik dengan kasus hilangnya sang gajah, dan saat aku mengakui bahwa aku pernah cukup sering melihat gajah tersebut ia menghujaniku dengan pertanyaan—gajahnya jenis apa, bagaimana kamu bisa berpikir gajahnya kabur, apa yang dimakan gajah itu, tidakkah berbahaya untuk masyarakat sekitar, dan serusnya.

Aku memberitahunya tidak lebih dari apa yang semua orang tahu dari berita, tapi ia terlihat merasakan ada penekanan dalam nada bicaraku. Aku tidak pernah pandai berbohong.

Selagi tampaknya ia tidak menyadari keanehan apa pun dengan kebiasaanku, ia menyeruput daiquiri keduanya, lalu bertanya, “tidakkah kau terkejut ketika gajah itu hilang? Kehilangan seperti itu tidak mungkin bisa diprediksi kebanyakan orang.”

“Tentu tidak,” kataku. Aku menjumput kue kering yang menggunduk di atas piring kaca di atas meja, memotongnya dua, memakannya setengah. Pelayan mengganti asbak kami dengan yang kosong.

Wanita itu melihatku dengan harap. Aku mengeluarkan rokok yang lain dan menyalakannya. Tiga tahun lalu aku sudah berhenti merokok tapi mulai merokok kembali setelah sang gajah menghilang.

“Kenapa tidak? Maksudmu kau bisa mengetahuinya?”

“Tidak. Tentu aku tidak bisa mengetahuinya,” kataku tersenyum. “Untuk seekor gajah yang tiba-tiba hilang sama sekali pada suatu hari—tiak ada preseden, tidak butuh untuk hal semacam itu terjadi. Sama sekali tidak masuk akal.”

Tapi tetap, jawabanmu sungguh aneh. Ketika aku mengatakan, kejadian ini bukanlah jenis yang orang lain ketahui, kamu mengatakan, mungkin tidak, kebanyakan orang akan berkata, kau benar, atau, iya memang aneh, atau semacamnya. Ngerti maksudku?”

Aku mengirimkannya anggukan ragu-ragu dan mengangkat tanganku untuk memanggil  pelayan. Keheningan yang janggal menguasai kami selagi aku menunggu pelayan itu membawakanku scotch.

“Aku sulit menjangkau hal semacam ini,” katanya lembut. “Hingga beberapa menit yang lalu kau benar-benar mengajakku ke percakapan yang normal—setidaknya sebelum subjek tentang sang gajah timbul. Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Aku tidak lagi bisa mengertimu. Ada yang salah. Apakah sang gajah? Atau telingaku mengelabuiku?”

“Tidak ada yang salah dengan telingamu,” kataku.

“Jadi yang salah kamu. Masalahnya ada di kamu.”

Aku memasukkan jariku ke dalam gelas dan mengaduk-aduk esnya. Aku menyukai suara es di dalam gelas wiski.

“Aku tidak akan menyebutnya masalah, sesungguhnya. Bukan perkara yang harus dibesarkan. Aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku hanya tidak yakin bisa membicarakannya dengan baik, sehingga aku coba untuk tidak mengatakan apa pun. Tapi kau benar—memang sangat aneh.”

“Maksudmu?”

Tidak ada gunanya: aku harus mengatakannya kisah ini. Aku menenggak wiski dan mulai mengatakannya.

“Persoalannya, aku mungkin orang terakhir yang melihat sang gajah sebelum dia lenyap. Aku melihatnya setelah pukul tujuh sore tanggal tujuh belas Mei, dan mereka menyadarinya menghilang pada tanggal delapan belas siang. Di antara waktu itu tidak ada yang melihatnya karena mereka mengunci gajah itu pukul enam.”

“Aku tidak mengerti. Kalau mereka menutup rumah itu pukul enam, bagaimana bisa kamu melihatnya pukul tujuh lebih?”

“Ada semacam jurang di belakang rumah sang gajah. Sebuah bukit curam di atas properti swasta, dengan jalan-jalan yang tidak sungguhan. Ada satu titik di belakang bukit, di mana aku bisa melihat ke dalam rumah sang gajah. Aku mungkin satu-satunya yang mengetahui keberadaan tempat itu.”

Aku menemukan tempat itu murni kebetulan. Berputar melewati area itu pada Minggu siang. Aku tersesat dan sampai di puncak karang terjal itu. Aku menemukan sedikit celah terbuka, cukup besar bagi seseorang untuk menyelinap, dan ketika aku melihat ke bawah melalui semak-semak, aku melihat atap rumah sang gajah. Di bawah ujung atap terdapat ventilasi yang cukup besar terbuka, dan lewat celahnya aku menemukan pemandangan yang jelas dari dalam rumah gajah itu.

Aku menjadikannya kebiasaan setelah itu dan mengunjunginya terus-menerus untuk melihat sang gajah ketika ia berada di dalam rumahnya. Kalau ada orang yang bertanya kenapa aku melakukan hal merepotkan semacam itu, aku tidak punya jawaban yang layak. Aku sekadar menikmati melihat gajah itu di waktu-waktu pribadinya. Tidak lebih dari itu. Aku tidak dapat melihat sang gajah ketika ia berada di luar. Aku tidak dapat melihat sang gajah ketika di dalam rumahnya gelap, tentu, tapi di waktu-waktu awal sore penjaganya akan menyalakan lampu selama ia mengurusi gajahnya, yang tentu saja membuatku dapat mempelajari secara detail pemandangan tersebut.

Apa yang langsung mengejutkanku ketika aku melihat sang gajah dan penjaganya berdua saja adalah perasaan saling menyukai satu sama lain—sesuatu yang tidak pernah mereka tunjukkan ketika mereka berada di ruang publik. Ketertarikan mereka terlihat dari setiap gerik. Keadaan itu hampir terlihat bahwa mereka menyimpan perasaan masing-masing sepanjang hari, menjaga agar tidak ada orang lain yang menyadarinya, dan menunjukkannya pada malam hari ketika mereka sendirian. Bukan berarti mereka melakukan hal berbeda ketika mereka hanya sendirian di dalam. Sang gajah hanya berdiri di sana, bengong seperti biasa, dan si penjaga akan menunjukkan tugas-tugasnya yang biasa dilakukan penjaga gajah lainnya tentu: menggosok sang gajah dengan sikat kapal, membersihkan kotoran sang gajah yang bertumpuk, membersihkan sisa makanan sang gajah. Tapi mustahil tidak menyadari kehangatan khusus, perasaan saling percaya di antara mereka. Selagi si penjaga menyapu lantai, sang gajah akan menggoyang belalainya dan menepuk punggung si penjaga. Aku suka melihat sang gajah melakukannya.

“Apakah kamu selalu menyenangi gajah?” ia bertanya. “Maksudku, tidak hanya gajah itu?”

“Hmm… memikirkannya menyukai atau tidak… aku menyukai gajah,” kataku. “Ada sesuatu yang mereka miliki yang membuatku bersemangat. Aku kira aku selalu menyukai gajah. Kenapa ya.”

“Dan hari itu juga, setelah matahari tenggelam, aku mengira kau berada di bukit itu sendirian, melihat sang gajah. Mei—hari apa?”

“Tanggal tujuh belas. Tanggal tujuh belas Mei pukul tujuh malam. Mungkin sudah terlalu lama, tapi aku ingat saat itu langitnya merah berkilauan, tapi rumah gajah itu menyala.”

“Lalu apakah terlihat ada yang ganjil baik sang gajah maupun si penjaga?”

“Hmm, ada tidak ada. Aku tidak begitu yakin. Bukan berarti mereka benar-benar berdiri di depanku. Aku bisa dipastikan bukanlah saksi yang bisa diandalkan.”

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aku menelan scotchku yang telah berair. Di luar jendela hujan masih turun, tidak lebih kuat atau lebih lemah dari sebelumnya, unsur statis pada sebuah lanskap yang tak akan pernah berubah.

“Tidak ada yang terjadi, sungguh. Sang gajah dan penjaganya melakukan sesuatu yang biasa mereka lakukan—bersih-bersih, makan, bermain satu sama lain dengan cara bersahabat yang mereka miliki. Bukan berarti apa yang mereka lakukan itu berbeda. Selalu seperti itu. Sesuatu tentang keseimbangan di antara mereka.”

“Keseimbangan?”

“Dalam ukuran tubuh mereka. Sang gajah dan penjaganya. Keseimbangannya entah kenapa terlihat berubah. Aku merasakan pada kadar tertentu perbedaan ukuran tubuh mereka menciut.

Wanita itu tetap memandang gelas daiquirinya untuk sesaat. Aku dapat melihat esnya telah mencair dan airnya meluber ke koktailnya seperti arus samudera kecil.

“ Berarti sang gajah mengecil?”

“Atau si penjaga yang membesar. Atau keduanya secara bersamaan.”

“Dan kau tidak memberitahu polisi?”

“Tidak. Tentu saja tidak,” kataku. “Aku yakin mereka tidak akan percaya. Dan kalaupun aku memberitahu mereka aku mengamati sang gajah dari bukit terjal pada waktu seperti itu, aku berakhir menjadi tersangka utama mereka.”

“Tetap saja, apakah kau yakin keseimbangan antara mereka berubah?”

“Mungkin. Aku hanya bisa bilang mungkin. Aku tidak punya bukti apa pun, dan seperti yang terus aku sampaikan, aku melihat mereka lewat ventilasi udara. Tapi aku menyimak mereka seperti itu sudah berapa kali aku tidak tahu, jadi sulit bagiku untuk meyakini bahwa aku membuat kesalahan terhadap ukuran awal tubuh mereka.”

Faktanya, saat itu aku heran apakah mataku mengelabuiku. Aku mencoba mengerjap-ngerjapkan mataku dan mengguncang kepalaku, tapi ukuran tubuh sang gajah tetap seperti itu. Benar-benar terlihat seperti menciut—begitu kecil sehingga aku berpikir balai kota memiliki gajah yang ukurannya lebih kecil. Tapi aku tidak pernah mendengar efek dari keadaan tersebut, dan aku tidak mungkin ketinggalan berita mengenai laporannya. Kalau itu bukanlah gajah yang baru, satu-satunya kemungkinan kesimpulan adalah sang gajah tua itu, untuk satu dan lain alasan, menciut. Sebagaimana aku menyaksikannya, menjadi hal yang biasa bagiku bahwa gajah yang ukurannya lebih kecil ini memiliki gerak-gerik yang sama dengan yang lama. Ia begitu saja terpaku dengan senangnya di tanah dengan kaki kanannya sedang dicuci, dan dengan belalainya yang terlihat lebih kecil ia akan menepuk punggung penjaga tersebut.

Pemandangan itu begitu misterius. Menyimaknya melalui ventilasi, aku memiliki perasaan berbeda, waktu-waktu yang membuat beku mengalir masuk ke rumah gajah itu. Dan juga terlihat bagiku, sang gajah dan penjaganya tampak senang dengan keadaan baru mereka tersebut dan mencoba mengembangkannya—atau secara parsial berhasil mereka kembangkan.

Bersamaan, aku mungkin menyimak adegan di dalam rumah gajah itu tidak lebih dari setengah jam. Lampunya dimatikan pada pukul tujuh-tigapuluh. Aku menunggu di tempat itu, berharap lampunya menyala kembali, tapi tidak lagi. Itulah saat terakhir aku melihat sang gajah.

“Jadi, kau percaya gajah itu terus menciut hingga cukup kecil untuk kabur melalui pagar, atau mereka terus mengecil dan lenyap sama sekali. Begitu?”

“Aku tidak tahu,” kataku. “Semua yang coba aku lakukan adalah mengingat dengan mata kepalaku sendiri, seakurat mungkin. Aku sulit menduga apa yang terjadi setelahnya. Gambaran visual yang aku punya begitu kuat sehingga, jujur, sulit begiku untuk membayangkan lebih jauh lagi dari itu.”

Begitulah segala yang bisa aku ungkapkan tentang kehilangan sang gajah. Dan persis seperti yang aku takutkan, kisah sang gajah ini terlalu tidak biasa, juga terlalu rumit dijelaskan, untuk menjadi topik pembicaraan di antara pria muda dan wnanita muda yang baru saja bertemu. Sunyi menggantung di antara kami setelah aku menyelesaikan kisah. Pembicaraan apa yang bisa kita bawakan setelah percakapan tentang sang gajah yang telah menghilang—sebuah kisah yang menawarkan tidak ada lagi pembukaan untuk diskusi lebih jauh? Ia menggerakkan jarinya di bibir gelas koktailnya, dan aku membaca dan terus membaca kata-kata yang tertempel di peluncur kursiku. Seharusnya aku tidak memberitahunya perihal sang gajah. Itu bukan jenis cerita yang dengan entengnya kau bicarakan kepada siapa pun.

“Ketika aku masih gadis kecil, kucing kami menghilang,” ia menawarkan percakapan setelah kesunyian yang panjang. “Tapi tetap saja, untuk seekor kucing menghilang dan untuk seekor gajah menghilang, bukanlah dua perkara yang sama.”

“Yeah, tentu tidak bisa dibandingkan. Ukurannya saja berbeda.”

Setengah jam kemudian, kami saling mengatakan selamat tinggal di luar hotel. Wanita itu tiba-tiba teringat payungnya tertinggal di lounge koktail, sehingga aku kembali menjemputnya dan menyerahkannya kepada pemiliknya. Payungnya bewarna merah bata dengan gagang lebar.

“Terima kasih,” katanya.

“Selamat malam,” kataku.

Begitulah terakhir kali aku melihatnya. Kami sempat berbincang di telepon satu kali setelah itu, tentang detail materi artikelnya. Selagi kami berbincang, aku berpikir untuk mengajaknya makan malam di luar, tapi pada akhirnya aku tidak mengatakannya. Entah kenapa aku tidak menemukan alasan yang tepat.

Aku sering merasakan hal seperti ini setelah pengalamanku terhadap lenyapnya sang gajah. Aku mulai berpikir untuk melakukan sesuatu, tapi kemudian aku tak sanggup membedakan antara hasil memungkinkan dari melakukannya atau tidak melakukannya. Aku sering merasakan benda-benda di sekitarku kehilangan keseimbangan ukurannya, meskipun bisa saja persepsiku sendiri yang mengelabuiku. Sejenis keseimbangan yang berada di dalam diriku luluh lantah semenjak urusan gajah itu, dan mungkin saja berakibat pada fenomena di luar diriku dan menyerang penglihatan mataku dengan cara yang aneh.

Aku melanjutkan menjual kulkas dan pemanggang roti dan pembuat kopi di dunia yang pragmatis ini, berdasarkan gambaran setelah dari kenangan yang aku dapatkan dari dunia tersebut. Semakin pragmatis aku mencoba diriku, semakin sukses aku menjual—kampanye penjualan kami berhasil melampaui rencana yang kami targetkan—dan semakin banyak orang yang berhasil aku jualkan. Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh orang-orang yang sedang mencari sejenis kesatuan di kit-chin yang kami tahu sebagaimana dunia ini. Kesatuan desain, kesatuan warna, kesatuan fungsi.

Koran tidak lagi membicarakan tentang sang gajah. Orang-orang sepertinya telah lupa bahwa dahulu mereka pernah memiliki seekor gajah. Rerumputan yang tumbuh di sekitar pagar rumah sang gajah telah meranggas, dan area itu kini memiliki nuansa musim dingin.

Sang gajah dan penjaganya telah benar-benar lenyap. Mereka tidak akan pernah kembali.


-diterjemahkan secara bebas oleh Hizbul Ridho, dari terjemahan bahasa Inggris, Jay Rubin