Amara
Konon, pada diri setiap manusia dewasa yang
hidup di bumi, terdapat sepasang malaikat bernama Jack dan Daniel yang bertugas
mencatat amal buruk dan amal baik dari manusia yang ditempelinya, hingga
manusia itu ditemui (dijemput) seorang malaikat lain yang namanya tak perlu
disebutkan sebab
tugasnya yang tak terlalu penting. Malaikat yang tak terlalu penting itu bertugas
di Kementrian Kematian yang jam dinasnya tak sampai lima menit tepat pada saat
si manusia meregang nyawa. Sedangkan Jack dan Daniel bekerja selama si manusia
hidup. Namun sebenarnya, kedatangan malaikat yang namanya tak terlalu penting
itu membikin
Jack dan Daniel kegirangan. Kedatangan
itu menandai berakhirnya masa dinas mereka dan Jack dan Daniel bisa segera
pensiun lalu menikmati dua gelas wiski dingin di surga.
Semenjak Tuhan menurunkan tiga agama wahyu—yang
tak bosan-bosannya berseteru—hingga hari yang paling kini, Jack dan Daniel
sudah diberi pekerjaan seperti itu, yaitu Jack memiliki tugas
mencatat segala perangai buruk manusia,
sedangkan Daniel sebaliknya, mencatat segala amalan baik manusia. Pekerjaan
mereka sangat penting sebab
Tuhan tak ingin keberadaan manusia yang hobinya beranak pinak dan berperang itu
menjadi sia-sia di muka
bumi. Sebelum bumi, jauh hari tuhan telah menciptakan neraka dan surga. Tuhan
tak ingin kedua tempat itu menjadi kosong melompong. Kendati demikian Tuhan
juga membuatnya terbatas—hanya
beberapa juta hektar yang angka pastinya hanya Tuhan yang tahu, yang
menyebabkan kuota neraka dan surga untuk manusia menjadi terbatas pula. Oleh
karena itulah Tuhan mendirikan Kementrian Amal Baik dan Amal Buruk tempat Jack dan Daniel bertugas,
untuk mensortir manusia ke dalam surga dan neraka—kabarnya kuota neraka berkali
lipat lebih banyak dibanding kuota surga.
Tuhan menjadikan Jack dan Daniel tak tampak
oleh manusia. Tuhan memiliki alasan logis untuk itu. Jumlah penduduk bumi saat
ini setengah triliun. Bayangkan, betapa sesaknya bumi sedangkan masing-masing
manusia dikuntit sepasang petugas KABAB. Populasi
Jack dan Daniel adalah dua kali lipat populasi manusia. Jika Tuhan membikin
mereka nyata, maka, untuk bernapas pun mereka akan berebutan udara. Dari zaman
dahulu hingga zaman kini, sepasang malaikat yang bertugas di KABAB ini semuanya
bernama Jack dan Daniel. Kau akan sulit membedakan tampang mereka semua. Untuk
memudahkan membedakan antara Jack dan Daniel satu dan Jack dan Daniel yang lain,
Tuhan membikin kartu identitas
dengan nomor seri yang juga menandakan mereka sedang berdinas. Kendati
demikian, antara Jack dan Daniel,
penampilan mereka
kentara sekali perbedaannya. Mereka kembar identik, kau akan tahu itu dari
bangkai tubuhya dan raut wajahnya. Namun ekspresi mereka sama sekali berlainan.
Dengan setelan akuntan bank dan rambut klimis belah pinggir, Daniel memiliki
penampakan yang ramah dan hangat. Sebaliknya, dengan stelan jaket kulit
bergambar tengkorak yang dibordir rapi dengan tulisan “JAHAT” motif darah meleleh dan celana pensil yang
melekat di kaki dan
model rambut kepala suku
dengan tampang dekil menjadikan Jack tampak tak menyenangkan. Ia
memiliki kebiasaan berbicara dengan nada kesal dan ketus dan serak seakan pita
suaranya telah rusak akibat kecanduan alkohol. Meskipun adalah rekanan yang selalu bersama, Jack
dan Daniel tak begitu sering bercakap-cakap satu sama lain selain menyangkut masalah pekerjaan
dan tetek-bengeknya.
Pada mulanya Tuhan menciptakan manusia menjadi
dua golongan yang kentara,
yaitu orang baik dan orang jahat. Keberadaan mereka tak dapat tertukar sebab mereka sudah terlahir
menjadi jahat saja atau baik saja. Ini menyebabkan pekerjaan Jack dan Daniel
menjadi mudah karena mereka tidak akan pernah menemukan kerancuan dalam
mencatat. Hingga Jack maupun Daniel sangat menyenangi pekerjaan mereka dan
timbul semacam gairah.
Dahulu kala, ribuan tahun sebelum masehi,
terdapat seorang raja lalim bernama Amara yang menguasai negeri bernama Nil.
Jahat adalah nama tengah Amara dalam pengertian harfiah: Amara Jahat Sackhalee.
Berbuat buruk adalah bakatnya semenjak lahir—Amara dilahirkan dengan pendarahan
yang menyebabkan ibunya meninggal tepat setelah melahirkannya. Sebelum dewasa,
ia telah menusuk punggung ayahnya dari belakang. Namun karena masih berumur
sepuluh tahun KABAB belum bisa menugaskan sepasang karyawannya. Berita itu sungguh gempar
hingga terdengar ke negeri Langit. Para Jack yang masih menganggur jadi gemas untuk segera mengintili
Amara. Itu menyebabkan para Jack semakin rajin belajar untuk melahap seluruhnya
isi Kitab Pasal Kejahatan agar salah seorang dari mereka lulus tes wawancara
kerja—persaingan tes wawancara ini biasanya berlangsung ketat tergantung dari seberapa
jahat manusia yang ditugasi untuk diikuti. Para Daniel juga tak mau kalah.
Mereka juga belajar Kitab Pasal Kebaikan yang tebalnya tak sampai setengahnya
KPK yang digenggam Jack. Para Calon Daniel berharap setidaknya Amara masih
menyisakan setitik
hati nurani.
Tibalah Amara menjadi dewasa yang tepat pada
saat penitahan dirinya sebagai Rajadiraja Kerajaan Nil. Jack dan Daniel yang
lolos wawancara kerja langsung menghadiri upacara yang berlangsung akbar
tersebut—Jack dan Daniel masih dalam keadaan senang karena baru mendapatkan kartu identitas mereka—Jack #666 dan Daniel #777. Saat ritual penyerahan
mahkota, Amara langsung melontarkan diktum kekuasaannya di depan ratusan ribu
warganya. Ia berkata:
“Aku bukanlah Rajamu. Melainkan Tuhanmu!” Dengan
suara tinggi dan pose yang congkak. Dagunya disejajarkannya dengan langit.
“Akulah yang Maha menentukan kehidupan dan kematian kalian!” Lanjutnya dengan semakin
meninggikan dagu.
Lalu ratusan ribu penduduk negeri itu langsung
tersujud di hadapan singgasana Amara dengan lutut yang gemetaran. Seketika itu
juga Jack melompat kegirangan dan berteriak “Yahoo!”. Pekerjaan pertamanya
sudah dirasakannya begitu menyenangkan. Jack ingat betul pada pasal berapa dan
ayat berapa pernyataan Amara itu tertera di KPK. Itu adalah pasal yang paling
berat yang membuat Jack girang bukan kepalang menuliskannya di dalam Catatan
Amal Jahat Amara yang setebal buku direktori telepon. Sambil menggoreskan tinta
di lembar pertama CAJ, dengan menggoda,
Jack mengedipkan mata kepada Daniel. Daniel hanya bisa melengos pelan.
Tak sesuai dengan perkataannya sewaktu
pengambilan sumpah mahkota,
Amara lebih banyak menentukan kematian warganya dibanding kehidupan. Hari
pertama penugasannya sebagai raja,
Amara langsung mencanangkan 100 hari program kerja yang hanya punya satu
rencana. Adalah membangun patung raksasa selfie
dirinya sendiri di pusat kota. Demi tercapainya program tersebut ia mengerahkan
seluruh penduduknya tanpa terkecuali. Tak tanggung-tanggung, ratusan mandor dikerahkan
demi tercapainya target tepat waktu. “Cambuk budak yang malas bekerja!” titah
Amara kepada mandor-mandornya.
Sebab
tak diberi makan dan minum ratusan penduduk mati pada minggu pertama pengerjaan
fondasi patung raksasa tersebut. Saban hari para mandor sibuk melecuti penduduk
yang kehilangan tenaga saat bekerja. Kau akan bisa mendengar suara cambuk yang
menampar kulit menggema di seisi
situs pengerjaan patung. Melihat jumlah budaknya yang berkurang seiring waktu,
Amara menitahkan ribuan hulubalangnya untuk menyerang negeri tetangga demi
tersedianya pasokan budak. Di luar program 100 hari pembangunan patung
raksasanya, Amara memiliki hobi kecil-kecilan, yaitu memanah setiap bayi lelaki yang dianggapnya sebagai
cikal bakal nabi. Toh, dengan prasangkanya, setiap bayi lelaki yang lahir di negerinya selalu dituduhnya sebagai
cikal-bakal nabi—Amara akan mengikat bayi-bayi itu di papan sasaran lalu
memanahnya dari jarak seratus depa.
Begitulah Amara menjalankan pemerintahan
kerajaannya yang membuat Jack begitu sibuk mencatat. Baru minggu pertama Amara
berkuasa, Jack telah hampir menghabiskan seluruh halaman CAJ yang setebal Yellow Pages itu. Untuk menanggulangi kehabisan kertas ia telah memesan
buku baru kepada KABAB bagian penyediaan perlengkapan. Daniel yang sedang
membersihkan debu yang menempel di kukunya memerhatikan Jack yang sedang sibuk
mencatat sambil tersenyum. Senyum yang menyebalkan.
“Tak adakah yang bisa kukerjakan?” kata Daniel
lalu menguap.
“Kalau begitu, bisakah kau pijat pundakku
sedikit. Aku belum berhenti mencatat semenjak tugas pertamaku. Bahkan untuk
merenggangkan badan saja aku tak sempat,” kata Jack masih sambil mencatat.
Tangan kirinya yang menganggur memukul-mukul ringan pundak di atas lengan
kanannya.
“Sialan kau! Itu tak ada dalam job desk-ku.”
“Kalau begitu, kau bisa mencoba membisikkan Amara untuk menghentikan
perbuatannya?” goda Jack nakal. Lalu ia tertawa dengan keras. Tawa yang sungguh
menyebalkan.
Daniel jengkel dengan tawa rekan kerjanya
tersebut lantas menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Rambutnya yang
tadinya klimis itu seketika kusut dan Daniel langsung mengambil cermin genggam
dan sisir kecil gigi
rapat yang selalu tersimpan di kantong kiri celananya.
“Aku sudah mencobanya kemarin,” ujarnya sambil
menyisirkan rambutnya yang kusut yang terpantul di dalam cermin genggam.”
Hatinya begitu busuk hingga meneteskan nanah.”
Begitulah hingga puluhan tahun kemudian Amara
tertimpa patungnya sendiri oleh seorang baik yang katanya nabi. Jack telah
menghabiskan ratusan jilid CAJ yang membuat tangan kanannya kekar sedangkan
tangan kirinya terlihat rapuh. Daniel hanya sibuk bersolek yang membuat
kulitnya tampak bercahaya (Itukah yang membuat malaikat katanya jadi
bercahaya?). Beberapa
kali ia mengajukan surat resign kepada
KABAB Divisi Sumber Daya. Namun KABAB DSD selalu menolak dengan dalih telah
terikat kontrak untuk menempel Amara (meskipun Amara tak pernah berbuat suatu
kebaikan seberkas pun).
Mulia
Untuk mengetahui setiap bayi lelaki yang lahir di negerinya,
Amara mengerahkan seratus petugasnya ke setiap sudut Nil untuk mendata apakah
sedang ada wanita hamil atau melahirkan bayi laki-laki. Jika jawabannya adalah
ada, petugas sensus yang disebar tersebut tak lantas mengambil bayi dari
ibunya. Itu bagian lain yang dikerjakan oleh prajurit paling rendah di
kerajaan. Saban hari,
para prajurit rendahan itu membawa (merenggut) tak kurang dari dua puluh bayi.
Para prajurit rendahan harus melakukannya sebelum
subuh merekah sebab
Amara memiliki kebiasaan untuk memanah selepas berkuda yang rutin ia lakukan di
pagi hari. Setelah para bayi tersebut sampai di halaman khusus memanah
kerajaan, seorang jongos kerajaan ditugaskan untuk mengikat berjajaran para bayi yang sedang
menangis—karena membutuhkan susu—pada papan sasaran panah. Amara yang baru saja
turun dari olahraga berkudanya lantas menghempaskan diri di singgasana yang
berada tepat seratus depa dari sasaran tembak. Ia akan menata napasnya perlahan
lalu mengambil sebuah apel hijau yang telah tersedia di meja di sebelah
singgasananya. Sambil melakukan gigitan pertama yang berderai ia akan memandang
bayi-bayi merah yang menangis dengan mata dingin dan ia semakin nafsu untuk
menghabiskan apel hijau di genggamannya
dengan segera.
Setelah cemilan paginya selesai Amara langsung
menjentikkan jarinya lalu seorang ajudan datang menyerahkan sebuah busur dan
anak panah. Amara akan berdiri dan meletakkan
anak panah tersebut di tengah di sela-sela busur lalu menariknya merenggang
hingga tali busur itu tak lagi bisa ditarik
dan memasang kuda-kuda memanah kehadapan dan ia akan memicingkan matanya
perlahan. Selagi kokoh dalam kuda-kudanya dengan mata terpicing ia mendengarkan
tangisan para bayi yang terlentang di depan papan sasaran. Telinga Amara secara
alami mendengarkan tangisan bayi yang paling keras karena menurut salah seorang
penasihatnya yang juga penyihir, benih nabi bersemayam pada tangisan bayi yang paling
lantang dan keras. Kenyataannya
seluruh bayi yang diikat tersebut menangis dengan lantang dan keras dan amat
sulit bagi telinga awam untuk membedakan suara
mana yang paling keras. Seolah-olah dengan
mudah mengetahui perbedaan keras suara bayi-bayi malang tersebut kedua lengan
Amara yang telah bersiap melesatkan anak panahnya bergerak perlahan menuju tangis yang menurutnya paling
lantang (lebih sering Amara melakukannya secara acak apalagi kalau ternyata
suasana hatinya sedang tidak baik—sangat jarang Amara memiliki suasana hati
yang baik). Dan Amara pun melakukannya seperti sedang menepuk nyamuk yang
menempel di tubuhnya.
Begitulah, Amara memberlakukan bayi-bayi di
negerinya sebagai properti dari olahraga resmi kerajaan. Semakin keras tangisan
bayi dalam mimpinya semakin bersemangatlah ia memanah di pagi harinya. Namun
demikian, meskipun Amara mengaku Tuhan, pengetahuannya taklah sedetail
pengetahuan Tuhan. Istri salah seorang petugas sensus bayinya diam-diam melahirkan
dan petugas sensus yang bernama Hajat ini begitu mencintai anak pertamanya
seketika bayi lelaki
tampan mungil itu mengeluarkan tangisan pertamanya. Anak ini tak boleh
diserahkan kepada Raja, kata Hajat dalam hati sambil menggendong anaknya
tersebut. Ia menjadi cemas kalau-kalau
ada seseorang yang mendengar tangisan seorang bayi lelaki yang belum bernama itu.
Suaranya begitu keras yang membuat sepasang orang tua baru itu menjadi panik
dan bingung bagaimana harus menyembunyikannya dan lima menit kemudian tepat
pada saat bayi tampan itu menggantungkan mulut mungilnya pada pucuk payudara
ibunya yang merekah ia tak lagi menangis dan setelahnya dengan ajaib ia tak
pernah lagi menangis. Keberadaan bayi tersebut tak diketahui siapa pun. Ia
menjadi rahasia alam semesta.
Jika Amara terlahirkan menjadi separuh iblis
maka bayi tersebut terlahirkan menjadi separuh malaikat. Hajat memberinya nama
Mulia. Tangis kerasnya yang tak lebih dari lima menit itu ternyata terdengar
sampai ke langit dan membuat para calon Daniel kegirangan. Sepanjang masa,
beberapa tangisan bayi memang sampai ke langit sebab tangisan mereka begitu khas.
Para Daniel mendengarnya persis seperti bunyi
sangsakala
balabantuan perang, seisi langit tahu suara itu adalah kabar baik dari bumi.
Alamnya para manusia. Belum lagi beranjak dewasa Mulia telah melakukan
perbuatan baik dengan cara memberi seekor anak kucing kelaparan sepotong ikan
kering dan para Daniel yang mengetahuinya langsung berkata: “Ooo, so sweet!”
sambil menakupkan tangan mereka di dada dan mata yang berbinar-binar. Mereka
pun menjadi giat belajar untuk tak hanya menghapal Kitab Pasal Amal Baik tetapi
juga memahaminya sampai kepada maknanya yang paling dalam.
Mulia tumbuh pada keluarga yang tinggal paling
sudut dari Negeri Nil. Ia tak perlu keluar rumah sebab ia telah memiliki ibu
sekaligus guru yang terbaik dari masanya. Saban malam sang ibu akan
mendongenginya kisah seribu satu malam yang sarat makna dan tidak menggurui. Di
atas ranjang, Mulia mendengarkan suara ibunya mendongeng dengan pancaran
imajinasi yang tumpah ke seluruh sudut kamarnya. Kamar yang gelap dan minim
penerangan itu langsung penuh warna. Mulia tumbuh menjadi seorang remaja
sebelum ia mengetahui kenyataan sebenarnya yang terjadi di negeri kelahirannya
tersebut.
Suatu pagi sebuah kegaduhan terjadi dan Mulia
tersentak bangun dari tidurnya. Mulia yang belum lagi sadar apa yang terjadi
meraba-raba datangnya suara; perabotan dibanting dan pecah suara jeritan wanita
dan tangisan bayi yang pecah. Ia bergegas keluar rumah dan pagi yang belum
begitu terang itu telah ramai oleh kerumunan yang berkumpul di depan rumah
Juriah tetangganya. “Masuklah,
Nak!
Tak usah hiraukan kegaduhan itu.” Kata suara ibunya yang datang dari dalam
rumah. Namun peristiwa itu begitu hebat di mata Mulia yang tumbuh dengan
dongeng Seribu Satu Malam sehingga suara ibunya itu tak terdengar. Melangkahlah
ia untuk bergabung bersama keramaian. Wajah-wajah yang muram. Dua hingga tiga
orang wanita paruh baya tersedu menonton kegaduhan itu. Kepala Mulia dipenuhi
tanda tanya yang menyesak. “Apa yang terjadi?” tanyanya kepada seorang wanita
yang terisak. “bayi laki-laki malang itu telah dipilih,” jawab wanita itu dan
isaknya pecah menjadi tangisan yang sedu sedan. “Dipilih apa?” tanya Mulia
kembali namun wanita yang sedang sedu sedan itu tak menjawab lalu seorang bapak
yang berada disebalahnya
lantas menyahut:
“Dipilih Raja untuk dijadikan sasaran olahraga
panahnya.”
Peristiwa suram tadi pagi begitu membekas di
benak dan hati Mulia. Siang hari di atas ranjang, Mulia terkulai lemas sambil
memandangi langit-langit. Di luar jendela yang terbuka, dari kejauhan ia dapat
melihat sebuah patung raksasa besar yang menjulang megah. Bahkan Mulia melihat
patung tersebut seakan congkak sebab
tingginya yang mencapai langit. Pemandangan dari luar jendela itu bukanlah
pertama kali dilihatnya. Sebelumnya ia pernah bertanya kepada ibunya apa itu
dan ibunya menjawab itu adalah patung raja kita. Waktu itu ia masih berumur
tujuh tahun dan Mulia memandangnya
dengan takjub. Namun
tidak sekarang. Nuansa yang dihadirkan oleh patung tersebut setelah peristiwa
tadi pagi menjadi begitu berbeda sama sekali. Ia pun ngeri dan menutup jendela
itu rapat-rapat lalu kembali rebah. Aku harus melakukan sesuatu, batinnya.
Tuhan, ada kah kau mendengar?
“Cih, menggelikan,” kata sebuah suara yang
datang dari sudut kamar tempat Mulia terbaring memandangi langit-langit. Mulia
tak mendengarnya. Jack meludah ke lantai dan menginjak-injaknya. Sedang Daniel
dengan wajah sumeringah
menggoreskan tintanya dengan gemulai di atas permukaan kertas. Kertas pertama
dari Catatan Amal Baik Mulia. Ini adalah hari pertama Jack dan Daniel bertugas.
Mereka telah menguntit Mulia dari sejak pagi hari ketika peristiwa itu terjadi.
“Sepertinya ini akan menjadi awal yang
menyenangkan,” ujar Daniel setelah ia selesai
mencatat niat yang terpatri di dalam hati Mulia.
“Suka-suka kamulah,” ketus Jack lalu ia kembali
meludah. Sepertinya Jack tak akan pernah kekeringan air liur.
Keesokan harinya, Mulia terbangun dengan
potongan mimpi yang masih melekat di benaknya. Seorang tua berjubah putih,
berjanggut dan berambut putih mengetuk pintu rumahnya. Mulia membukanya dan
mendapati seorang pria tua yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Mungkin pak
tua ini datang dari negeri jauh, pikir Mulia. Pria tua itu berkata dengan suara
yang dalam dan berat, pergilah dari negeri ini. Berjalanlah ke arah timur
hingga kau menemukan Hutan.
Dan tiba-tiba bapak tua itu menjelma menjadi seorang bayi berwarna merah yang
menangis lalu bayi itu menggandakan dirinya menjadi puluhan lalu ribuan lalu
jutaan yang pada akhirnya membentuk sebuah patung raksasa yang tingginya
mencapai langit. Patung itu bergerak seakan hendak merobek langit dengan
panahnya. Dan ketika itulah Mulia terbangun. Keringat menderas di sekujur
tubuhnya.
Pagi itu ia berangkat hanya dengan membawa
bekal seadanya; dua bongkah roti dan beberapa helai pakaian ganti. Ia mengecup
dahi ibunya yang masih terlelap dan
berkata lirih, selamat tinggal ibu. Aku akan merindukan dongeng-dongengmu.
Seperti biasa,
pagi itu pun ayahnya tak ada di rumah—ia berdinas di pagi buta untuk
menjalankan tugas kerajaan. Mulia melangkah menjauhi rumahnya dan di sebelah
kanannya dengan wajah berseri-seri Daniel mengikutinya lalu berkata; “Baru niat
saja aku tetap akan mencatat amal baikmu. Karena itu tertera pada ayat pertama
pasal pertama Kitab Amal Baik,” dan mengambil CAB Mulia sambil berjalan.
Beberapa langkah di belakang Jack mengikuti mereka masih dengan wajah ketus dan
ia pun kembali meludah ke tanah.
Tepat sebelum mereka melangkah melalui gerbang, seorang gadis bertudung
melintas di depan Mulia. Gadis itu tersenyum kepada Mulia, senyum yang
menggantung indah seperti ketika ia melihat bulan sabit di malam penuh bintang.
“Hei, lihatlah gadis itu. Alamak senyumnya
enggak nahan. Lihatlah pinggul dan buah dada yang tersembunyi di baju
kurungnya. Bukankah menerbitkan air liurmu? Maka hentikanlah perjalanan ini dan
rayulah gadis itu untuk tidur denganmu malam ini,” bisik Jack di telinga kiri
Mulia. Sebenarnya lebih tepat disebut berteriak memekakkan telinga dan Mulia pun
terhenti sesaat memandangi gadis itu berlalu melenggak-lenggok memamerkan keindahan
tubuhnya yang tersaput sutra
itu. Di telinga kirinya Mulia seperti mendengar desau lalat yang cerewet. Ia
pun mengibaskan desau langau itu dan memantapkan dirinya melangkah keluar
gerbang menjauhi Kota Nil. Daniel tergelak dengan riang.
“Percuma Jack. Tidak
kah kau lihat betapa terangnya hati pemuda ini.” Jack pun cepat-cepat mengambil
kaca mata hitam yang terselip di jaket kulitnya, alih-alih melindungi mata dari
sinar matahari yang terik Jack tak tahan melihat pancaran benderang hati Mulia.
Mulia melangkah ke arah timur untuk
menjawab panggilan mimpi yang didapatnya,
meninggalkan
ibunya,
meninggalkan
seorang gadis yang mungkin saja jodohnya. Mungkin bapak tua itu sedang
menungguku di kedalaman Hutan
sana, pikirnya. Dan benar saja,
setelah tujuh hari tujuh malam tak berhenti melangkahkan kakinya Mulia langsung
bertemu dengan bapak tua itu pada tidur pertamanya setelah perjalanan yang
melelahkan. Wajah bapak tua itu tampak lebih hangat dan lebih sejuk dari
sebelumnya, ia bertengger menyilangkan kaki bertumpu pada tongkat kayu dengan
latar air terjun yang menderu. Bapak tua itu lalu tersenyum kepada Mulia dan
berkata:
“Selamat datang, Nak.
Di Hutan
ini aku akan mendongengimu selama seribu satu malam lamanya. Kau tak dapat
bertemu denganku kecuali di dalam mimpi. Aku akan mendongengimu tentang kisah
epik sebuah kepahlawanan, pengorbanan dan kerja keras. Pada mimpimu yang kelima
ratus aku akan menghadiahimu sebuah buku sihir berjudul “Mahir Sihir Dalam 500
Hari” karanganku sendiri sesungguhnya. Sebab
kau hanya bisa bertemuku di dalam mimpi,
pada
terang hari kau mesti
melatih dirimu untuk sebuah pertempuran terakhir. Sekali lagi aku mengucapkan
selamat datang. Dan selamat belajar dan bekerja keras. Hei, aku tak akan
memberi ilmuku ini dengan cuma-cuma.”
Begitulah, pertemuan pertama Mulia dengan pak
tua berjanggut putih. Mulai hari ini Hutan
tak bernama itu akan menjadi bangku sekolahnya dan tepat 1001 hari ia belajar
di sekolah alam itu untuk menyiapkan dirinya pada sebuah pertarungan terakhir
seusai perkataan si pak tua di dalam mimpi pertamanya di Hutan.
Setelah beberapa hari hidup di dalam Hutan, Mulia sadar betul, tak
ada suatu hal yang diraih dengan mudah. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti urusan perut. Hampir empat hari lamanya ia kelaparan di hutan sebab tak satu pun sesuatu yang
masuk ke dalam genggamannya untuk di makan. Hutan itu taklah sepi, jika memejamkan mata, ia dapat merasakan
sebuah kehidupan yang ramai di dalamnya, sebuah koloni, sebuah komunitas yang
lebih luas dibanding masyarakat Negeri Nil tempat ia tumbuh dulu, suara
berbagai bentuk burung, suara berbagai bentuk binatang berkaki empat, kecibak
ikan yang berkejaran, gemerisik daun mati di atas permukaan tanah. Mulia tahu
itu, selagi ada kehidupan maka di situ juga ada sumber makanan. Dan setelah
membuka mata dan berjalan tak kurang dari tujuh jam mengelilingi hutan, tak ada
roti yang ditemuinya. “Aku ingin roti!” teriaknya lantang, beberapa saat
kemudian terdengar suara burung yang tertawa.
Mulia coba mengejar anak rusa yang ditemukannya, namun rusa itu justru
berhasil mempecundanginya dengan gerakan kaki yang lincah dan gemulai. Lalu ia
menceburkan diri ke dalam sungai dekat air terjun namun ikan-ikan tersebut
justru bergerak lebih lincah dibanding tangannya. Selama empat hari ia
melakukan hal tersebut dan nyaris putus asa, akhirnya ia putar otaknya
bagaimana mendapatkan ikan atau rusa atau apa pun yang sekiranya dapat
dimakannya. Mulia bukan berarti tak pernah mencoba memakan tumbuhan, berbagai
macam daun-daunan dan akar-akaran dan batang-batangan coba dikunyahnya namun
seketika itu pula perutnya menolak dan langsung memuntahkan makanan herbal itu
kembali keluar. Beberapa tumbuhan dan buah-buahan berhasil cocok juga dengan
perutnya, tak jarang satu atau dua buah-buahan dan daun yang ia tak tahu
namanya begitu enak dan ia menjadi sangat lahap memakannnya. Tapi memakan yang
berasal dari tumbuhan saja taklah cukup untuk memuaskan kelaparannya. Ia membutuhkan
daging, rusa, burung, ikan atau apalah. Dan dengan susah payah dan menempuh
berbagai macam metode yang gagal pada minggu kedua akhirnya ia berhasil
menjebak seekor anak rusa. Dan ya Tuhan, dagingnya sungguh enak sekali setelah
diasap dan keringkan.
Begitulah Mulia berhasil bertahan hidup selama seribu satu malam dan hari di dalam Hutan tak bernama. Di malam
hari, Mulia belajar kesusastraan, keindahan, kemanusiaan, dan keesaan Tuhan
melalui dongeng pak
tua
yang diceritakan lewat mimpi. Di siang harinya ia menjalani kehidupan
sebaliknya, keras layaknya hulubalang. Ia tak hanya berburu untuk bertahan
hidup, namun juga melatih fisik, mental dan pikirannya. Setelah seratus hari ia
berada
dalam Hutan,
ternyata ia menyadari, banyak hal yang bisa ia manfaatkan di dalamnya. Alam telah menyediakan
segalanya untuk kepentingan manusia, batinnya suatu malam sebelum tertidur.
Lima ratus hari dan lima ratus malam berhasil
dilaluinya dengan begitu banyak pengalaman baru dan pengetahuan baru. Untuk
mencapai pertengahan masa belajar di dalam Hutan,
ia tak melewatinya dengan mudah, beberapa kali ia diserang rasa sepi yang
hebat, rasa putus asa yang mengaburkan pandangannya ke masa depan. Namun ia
sadar, ia harus menaklukkan
rasa yang telah menghantui manusia sejak zaman purbawi itu sebab sesuatu yang zalim bergerak
lebih besar dan semena-mena. Darahnya menderas begitu kencang seketika
mengingat pagi buta yang muram itu. Mulia terbangun dan menemukan sebuah buku
tebal dengan judul “Menguasai Sihir
dalam 500 Hari” dan di bawah judul tersebut terdapat inisial yang sepertinya
pengarang buku itu “HR”. Bapak tua itu pernah menyebutkan di dalam mimpinya
tepat pada hari ke 500 ia akan menghadiahinya panduan praktis sihir. Dan Mulia
yakin inilah bukunya. Ia lalu terduduk dan menggenggam buku tersebut dengan
kedua tangannya. Ada semacam rasa antusias menjalari kulitnya dan tak sabar
lantas dibukanya buku tersebut pada halaman pertama.
“Lah, kok kosong. Ini juga kosong. Semuanya
kosong. Apa maksud si pak tua itu?”
Pada malam harinya, di dalam mimpi, pak tua tak menyinggung mengenai
kitab sihirnya yang polos di seluruh halaman. Di ujung kalimat terakhir dongeng
pak
tua,
Mulia bertanya mengenai kitab sihir yang didapatnya. Tapi pak tua hanya menjawab: Kau harus
menemukannya sendiri. Di dalam tidurnya Mulia menggaruk-garuk kepala karena
tidak paham.
Dalam satu tahun, penduduk kota Nil tahu, hujan
turun tak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki mereka. Dan jika sedang turun
pun butirannya tak lebih besar dari biji gandum. Tapi hari itu hujan tidak akan
turun seperti biasanya. Setelah lima bulan hujan tak turun, ia mulai jatuh
dengan intensitas gerimis seperti biasa
ia turun. Dan anak-anak perempuan (kau
tak akan dapat menemukan anak laki-laki di kota ini) berhamburan ke jalan-jalan
untuk menyambut berkah tersebut. Mereka berloncatan kegirangan. Ibu-ibu
mengeluarkan ember atau apa pun yang dipunyanya untuk menampung air hujan yang
jatuh. Tapi hari itu langit menjadi lebih gelap dan pekat dibanding biasanya.
Sebuah petir yang bercabang-cabang turun lalu menyentuh patung raksasa Amara yang
terletak di tengah kota dan
disusul bunyi
guntur yang memecah udara. Anak-anak perempuan yang tadinya bermain hujan
langsung berhamburan menuju rumah mereka. Hujan
turun lebih lebat dari biasanya. Ukuran bulirnya bisa sebesar kelereng sehingga
menimbulkan bunyi
gemeretak ketika menabrak atap. Trak tak tak tak. Dari dalam rumah, hujan lebat
sebesar kelereng tersebut terdengar seperti hujan batu. Penduduk Negeri Nil
langsung menyembunyikan dirinya di balik selimut.
Dari arah selatan, seorang pria dengan baju
kurung dan kupluk yang menutupi wajah dan tangan kanan yang menggenggam tongkat
kayu berjalan menembus hujan badai itu. Ia
tak basah sama sekali. Bulir hujan sebesar kelereng itu tak menyentuh permukaan
tubuhnya. Badannya tegap, bahunya lebar dan ia berjalan mantap ke arah Istana.
“Amara!” teriak Mulia di depan gerbang Istana
Kerajaan Nil. Dan seketika itu pula seruas
petir yang bercabang-cabang kembali melesat ke bawah menjilati patung raksasa
Amara dan suara guntur menggelegar
mencabik langit.
Amara yang sedang bersetubuh bersama tiga orang
permaisyurinya langsung bergeming mendengar suara teriakan itu dan guntur yang menyusul setelahnya. Ia
tergesa-gesa mengenakan pakaian lalu menyarungkan jubah perangnya, ia juga
mengambil busur dan anak panah yang dipajang di dinding kamar. Amara lantas
bergegas menuju ruang bola
untuk melihat apa yang terjadi di luar. Hatinya berdebar-debar hebat. Tak
pernah ia merasakan gemetar yang begitu dahsyat seperti sekarang ini.
Sesampainya ia diruang bola ia tersentak kaget, puluhan
tubuh hulubalangnya berserak dan bertumpuk di setiap sudut ruangan yang besar
itu dan kilat menyambar-nyambar dari arah luar. Dari jarak yang tak begitu jauh
ia menyaksikan dua orang penyihirnya terpental. Kakinya semakin bergetar hebat.
Ia melihat seorang pria dengan wajah yang dipenuhi janggut hitam. Setelah dua
orang penyihirnya terpental dan tak sadarkan diri, di ruangan itu hanya tinggal
ia dan pria berjanggut hitam yang menggenggam tongkat. Pria itu memandangnya dengan
tajam. Sebuah tatapan mata yang sanggup mencabik tubuh hingga menjadi dua buah
bagian. Dengan tergesa-gesa ia mengambil anak panah yang tersampir di
punggungnya dan dengan busur yang sudah meregang ia arahkan ke kepala pria berjanggut
hitam yang berjalan perlahan mendekatinya.
“Amara! Jika kau memang Tuhan. Coba hentikan
takdir kematianmu!”
Anak panah itu melesat lima jengkal di sebelah
kanan kepala Mulia. Amara terlalu gegabah melepaskan anak panahnya sesaat suara
yang penuh ancaman itu menyergapnya. Mulia tetap berjalan perlahan mendekatinya dan
lima langkah lagi, Amara tergopoh-gopoh melarikan diri menjauhi ruangan
tersebut. Ajudan, ajudan, teriaknya. Pelayan, pelayan. Bangsat, tidak adakah
orang di sini. Amara melihat setiap lorong dan ruang di kerajaan itu tak
terdapat siapa pun.
Tak ditemuinya lagi orang-orang yang dulu tertunduk dan mematuhi perintahnya
layaknya perintah Tuhan. Amara diserang kesepian yang begitu hebat. Dan ia pun
langsung lari menuju barak
tempat kudanya dikandangkan.
Di dalam barak
itu, kuda hitamnya bergerak resah dan meringkik-ringkik seperti hendak
melepaskan tali kekangnya. Amara langsung meraih
kudanya dan melepaskan tali kekangnya. Di atas kuda ia melesat
menuju luar halaman taman
kerajaan,
menembus hujan. Amara merasakan bukan air yang menghujaninya melainkan batu
kerikil, ia merasakan kesakitan yang hebat dalam menembus hujan badai tersebut
dan kuda hitamnya tak berlari seperti biasanya, tampak sekali kuda itu depresi menembus dera hujan yang mencambuk-cambuk tubuhnya. Di
belakang, Amara melihat sesosok tubuh yang telah memporak-porandakkan kerajaannya berlari
mengejarnya. Ia panik dan semakin menghentakkan
kakinya ke tubuh
kuda untuk memaksanya melesat semakin kencang. Petir dan kilat dan guntur
menyambar susul menyusul dengan frekuensi yang lebih intens. Permukaan patung
raksasa Amara tampak berkilat-kilat oleh cahaya apinya. Amara kembali menengok
ke belakang dan betapa lega hatinya tak ditemukannya pria berjanggut yang
menakutkan itu. Ia kembali menghentakkan
kudanya ke arah utara melewati patung raksasa dirinya yang sedang dijilat-jilat
petir. Seketika itu pula terdengar suara patahan batu yang menggema dari arah
punggungnya. Krak. Dan suara patahan batu itu susul menyusul seperti suara
tanah yang merekah akibat gempa bumi. Sebab
suaranya semakin besar ia menoleh ke belakang dan kagetlah ia melihat patung
raksasa dirinya yang roboh perlahan. Amara tak dapat memprediksi kemana arah
jatuhnya patung tersebut namun ia khawatir patung itu bisa menimpa dirinya. Ia semakin
gencar melecut kudanya untuk berlari semakin kencang, kalau perlu bahkan
butirin air yang seperti kerikil ini tak dapat menyentuh tubuhnya. Kuda Amara melesat ke arah
gerbang utara menahan rasa sakit rundungan
hujan. Gerbang telah tampak dua pelemparan batu di hadapan matanya yang membikinnya semakin bernafsu untuk
meninggalkan kota laknat itu.
“Ha-ha-ha. Tak ada yang dapat
membunuhku. Bahkan tuhan sekali pun.”
Amara berteriak pongah saat dirinya hampir
mencapai gerbang dan tepat tiga jengkal di hadapan gerbang, kuda hitamnya terjatuh dan
tersungkur dan
berdebam dengan keras ke permukaan tanah. Kuda sialan, hujat Amara yang
terhimpit kudanya yang tak tahan lagi berlari sebab terus di dera hujan seperti
kerikil yang dahsyat. Tapi karena kaki Amara terhimpit kuda ia menjadi tak bisa
lepas dari kudanya. Susah payah ditariknya kaki kirinya yang terhimpit namun
tak juga dapat lepas dari tubuh kuda hitam besar yang sekarat tersebut.
Seketika itu pula ia tersadar akan Patung Raksasa
dirinya yang patah dan terjatuh dan ia pun melihat ke arah pusat kota. Patung
itu hendak jatuh ke arahnya. Dengan mata yang liar dipenuhi kengerian dan
bayangan akan maut ia melihat sebuah batu raksasa jatuh dari langit. Bahkan
Amara tak sempat untuk berteriak. Patung raksasa itu jatuh berdebam menimbulkan
suara yang dahsyat dan menimpa dirinya yang terkesima melihat potret dirinya
sendiri yang pernah mencoba meraih langit.
Budi
“Ngarang sekali cerita ini. Apa itu Jack dan
Daniel? Mana ada malaikat seperti itu. Fiksi ini hanyalah karangan seorang
penganggur yang banyak bermimpi di siang bolong,” tukas Budi lalu melempar buku
tipis yang berjudul Jack dan Daniel itu ke sudut kamar. Hari ini sabtu dan
nanti malam ia ada kencan dengan kekasihnya, Bunga. Ia tak sabar untuk
berkencan dengan kekasihnya itu dan setelahnya mereka akan bercinta puluhan
ronde karena bunga baru saja melalui masa menstruasinya. Di atas ranjang yang
kusut, Budi menutup matanya dan membayangkan aksi percintaan mereka yang penuh
letupan gairah. Mereka sangat menikmati persetubuhan itu seperti mereka
menikmati makan nasi padang sekali sehari. Dan Budi pun tertidur sudah dengan
alarm yang telah ia setel untuk berdering pukul lima sore di Blackbarry-nya.
“Tidak dengarkah kau bocah ini mengejek kita?”
kata sebuah suara dari sudut kamar. Suara itu milik Jack yang sedang berjongkok
dan menikmati menggali lobang hidungnya.
“Ya. Aku mendengarnya. Dan anak ini pikir kita
ini tokoh fiktif,” balas Daniel. Daniel menyigi
kuku-kuku jari-jarinya kalau-kalau ada kotoran yang nyempil. Ia tersenyum
simpul kuku-kuku itu masih bersih seperti biasanya.
“Huh,” lengos Daniel. “Zaman dahulu,
senior-senior kita begitu menyenangkan dalam bekerja. Mereka tak lagi repot dan
bingung. Aku begitu tak paham dengan anak ini.”
“Ya, aku juga. Tapi tidakkah kau berpikir,
persaingan kita berdua jadi lebih sehat sekarang. Tak ada lagi hati yang begitu
gelap atau hati yang begitu terang seperti yang dimiliki manusia pada zaman
dulu. Aku tak tahu apa warna hati bocah ini.”
“Itu abu-abu.”
“Bukan. Abu-abu agak kemerahjambuan”
“Tapi terkadang. Meskipun tidak sering, anak
itu melakukan kebaikan yang membuatku terenyuh. Tidak ingatkah kau bulan lalu.
Ia memberikan sekarung beras lima kilo kepada tukang sapu di pinggir jalan
setelah ia mendonorkan darah. Ia juga rutin tiga bulan sekali untuk donor
darah. Katanya ini demi kemanusian dan aku begitu senang untuk mencatat amal
baiknya tersebut.”
“Kau benar. Tapi setelah itu, kau harus ingat.
Ia berzinah dengan wanita yang bukan muhrimnya. Itu perbuatan laknat kawan.
Tuhan mengutuk perbuatan itu. Dan bocah brengsek ini melakukannya sama sekali
tanpa perasaan berdosa.”
“Tidak kawan. Ia menyesal telah melakukannya.
Memang benar ia tak sadar kalau perbuatan itu adalah dosa pada saat ia
melakukannya. Ia hanya merasakan sensasi nikmat yang dahsyat seperti ia
merasakan terbang ke surga, dan terhempas ke
neraka. Namun setelah itu, meskipun sedikit, ia
merasakan bersalah dan berniat untuk tidak melakukannya lagi. Dan baru niat
saja aku akan mencatatnya dalam Kitab Amal Baikku.”
“Tolol. Setelah itu ia lupa akan janjinya dan
tetap melakukan perbuatan tersebut.”
“Itu karena kau yang menggodanya. Kau membisikkan perbuatan setan itu ke
telinganya.”
“Tapi, itu memang tugasku. Salah sendiri kenapa
hati dia tidak teguh. Kalau mau baik,
baik sekalian dan kalau mau jahat, jahat sekalian. Jangan tanggung-tunggung
seperti ini. Aku jadi mudah menggodanya. Ha-ha-ha”
“Sudah berapa halaman yang kau habiskan, Jack?”
“Hampir dua ratus halaman. Kau?”
“Sama denganmu. Tapi aku rasa kau lebih banyak
beberapa lembar. Hei, lihat bocah itu. Tidurnya seperti bayi. Kalau dalam
keadaan itu ia tak tampak memiliki dosa sedikit pun.”
“Ya. Tapi kau lihat. Catatan Amal Buruknya lumayan
tebal di tanganku. Dan nanti malam akan bertambah lagi karena mereka akan
kembali berzina. Aku akan semakin memanas-manasinya. Hi-hi-hi.”
“Kau tak akan bisa. Aku akan mencegahnya. Aku
akan membisikkannya
bahwa yang dilakukannya adalah dosa dan ia pantas berhenti. Kalau perlu aku
akan membisikkannya
untuk langsung saja bertemu dengan orang tua si gadis dan melamarnya.”
“Coba saja. Aku berani taruhan bocah sialan ini
lebih memilih menidurinya. Lalu meninggalkannya.”
“Baiklah. Mari kita buktikan, apakah kuping
sebelah kiri yang didengarnya atau kuping sebelah kanan.”
Tiba-tiba
Blackbarry
di sebelah kepala
Budi yang tertidur berdering. Alarmnya sudah menunjukkan pukul lima sore. Waktunya
kencan, pikir Budi lalu tersenyum. Masih dalam keadaan setengah sadar ia
menekan tuts gawainya
dan mencari nomor kekasihnya.
“Halo Sayang. Sudah siap berkencan, kan? Aku akan menjemputmu.”
-Hizbul Ridho, 2014