Jumat, 22 Februari 2019

Tarian Rahasia antara Matahari dan Bulan

   Image result for Its take two to tango


Di kafe kecil di pasar lama pinggir sungai itu, mereka mendengarkan lagu Its Take Two to Tango, untuk terakhir kalinya, sebelum mereka meninggalkan kota kenangan itu. Mereka, sepasang asing yang kerap singgah di kedai kopi tersebut hanya untuk membunuh waktu yang terlalu sunyi di tengah keramaian, menyadari kehadiran masing-masing tapi tidak memiliki keberanian untuk berkenalan, menikmati lagu dengan ritme melodi yang riang, yang entah kenapa terdengar lebih biru.
Secara wajah, mereka sudah lama saling kenal,
setidaknya,
mereka biasa datang di kedai kopi tersebut pada jam yang sama,
entah kenapa,
menikmati wajah masing-masing sembari melakukan aktivitas masing-masing.
Pada pukul segitu, sang lelaki sudah lebih dulu datang, mungkin, tigapuluh menit lebih cepat dari si perempuan. Lelaki itu selalu melihat jam tangan yang dia kebat di pergelangan kanan ketika wanita itu datang, menghadap ke netbooknya, entah itu sedang menyunting, atau menulis, atau menulis ulang.
Sedangkan wanita itu tiba dengan membawa esmoka dan sepiring kroisang sosis, duduk di tempat yang sama, di sudut di mana dia dapat menikmati waktunya dengan santai, sambil sesekali melirik kepada lelaki itu. Entah kenapa, ketika wanita itu meliriknya, sang lelaki menyadarinya, yang saat itu terjadi, sang wanita melihat ke arah lain, agar mungkin, lelaki itu tidak mengetahui bahwa dia, wanita asing di kedai itu kerap memerhatikannnya.
Tapi lelaki itu tahu. Dan wanita itu juga tahu bahwa lelaki itu memerhatikannya. Tapi tetap saja, masing-masing, tidak berani untuk mengambil tindakan untuk berkenalan, dan membuka pintu petualangan baru dari sepasang asing yang tak saling kenal, tapi sudah lama akrab.
Selagi saling memerhatikan dan saling pura-pura tidak memerhatikan, masing-masing tenggelam dalam pikiran, hingga jauh ke masa lampau, di mana sepertinya, mereka pernah bertemu. Kedua wajah itu, merasakan, entah kenapa, mereka pernah saling bersama dan bercengkrama,
entah pada masa apa.
Mereka pun berpisah, untuk yang terakhir kali. Mungkin masing-masing menyadari bahwa sebenarnya, mereka saling melempar senyum tersembunyi, dengan maksud sedang menikmati masa lalu, yang sesungguhnya adalah isyarat, bahwa mereka saling tarik-menarik, secara jiwa.
Mereka pun berpisah, kembali kepada kehidupan masing-masing, dunia masing-masing, yang kalau, seandainya mereka bersama, apakah dunia mereka bisa bertemu dan menyatu, mengingat kedua orang asing yang telah berpisah itu, dan jalan saling memunggungi, ke arah berlawanan, di jalan setapak, di antara pedagang-pedagang kaki lima yang menghimbau orang-orang asing yang lewat dengan; sayang-anak-sayang-anak, banyak anak banyak rezeki, dan toko-toko Tionghoa yang berbicara dengan karyawannya penuh perhatian, seakan mereka memang berkeluarga sudah semenjak lama.
Mereka sampai di kamar masing-masing. Lelaki itu, dengan biolanya dan tumpukan buku berserak dan lembaran-lembaran notasi dan lirik-lirik lagu yang dicorat-coretnya, sebab baginya, perfeksionisme adalah kehilangan dan penemuan sekaligus. Sementara wanita itu, dengan wangi kamar oleh krisan merah, dan teh rosella yang dia seduh dan letakkan di permukaan grand piano, memainkan musiknya sambil mengenang lelaki itu, mengarang-ngarang pertemuan mereka kembali, seandainya memang,
takdir dapat menemukan mereka.
Waktu berlalu bagai pendulum yang bergerak perlahan ke kiri dan ke kanan, lalu ke kiri dan ke kanan lagi, sementara jemari wanita itu menari di empat oktaf tutstuts piano, dan lelaki itu memainkan biolanya, menggesekkan empat senarnya sembari merasakan nyeri di dalam dadanya, di dalam rusuk kirinya, sambil menyesali kepecundangannya untuk berkenalan dengan wanita itu, memulai awal yang baru, yang lebih segar, dan penuh petualangan mengejutkan, sedikit menjengkelkan, dan terlalu banyak kangen.
Mereka memainkannya
Dan mereka terus memainkannya
Dan mereka memainkannya sembari membayangkan perjumpaan acak mereka entah itu di pasar,
entah di dalam bus,
entah  di dalam kereta, 
entah di dalam pesawat.
Dan setelah delapan tahun, sembilan tahun berlalu, saat masing-masing memenuhi panggilan manggung di Paris Perancis, mereka pun bertemu kembali di pesawat yang sama, saling berhadapan, di bangku masing-masing, merasakan sekujur tubuh mereka merinding,
Selanjutnya
Mereka pun sadar
Memang, mereka telah ditakdirkan untuk bersama
antara matahari dan bulan itu…

[.2019-Februari-Sabtu.] 

Selasa, 19 Februari 2019

Yang Ditunggu


seorang lelaki tanggung, memunggung
kota tua, menghadap cakrawala
entah mata mana melekat horison
entah matahari mana yang disongsong

dia gontai pada bau amis
melewati darah yang gerimis
pesakitan ini menanggal baju, bertelanjang dada
memaku di tengah balaibalai masa

di pengkolan gang ini, dari dulu
dia langkahkan kakinya ke jalan kanan
selalu kakinya berada di hulu kiri
memabuk diri dibawah atap rumah pelesiran

entah apa yang ditunggunya di sini
sedang manusia berduyunduyun menggali tambang
entah apa yang dicari
sedang ibu menyuruh pulang

dan suara azanpun berkumandang.....

Padang, 2011

Sajak Rindu


lewat pesan ini kukirim:
     rindu
karna darah telah mensetubuhi:
     waktu
dan ovum yang merekah
diserang ribuan penjajah
adam jadah!


tak pernah kutanyai dirimu
kenapa matahari, kenapa langit
kenapa bumi, kenapa aku di sini

sejuta akan terang 
kau gelayuti di pundak
lewat jarak menempa, tumpukan buku
negeri para kesatria pencerita

ingin ku perkosa waktu
hingga kembali ke masa itu
ketika selimut rahim masih melindungiku:
   sebuah sajak rindu, mama!

Padang, 2011

Kepada Tuhan


di setiap sembah yang memburu
di liuk daun mengalun pilu
air yang tumpah ke bumi
kepak burung yang bertasbi

tak ku mengerti
ada yang kau pilih
akan yang mencekam tuk dipilih
di setiap resah yang terburu
di setiap sujud, kata yang khianati makna

kini tak lagi menengadah langitmu
biru pun kelam pun, abuabu
hanya terang kaki yang memaku bumi

kepada pelukis warna matahari,
tak lagi kukirim surat untukmu

Padang, 2011

Ada Tuhan Berenang dalam Pembuluh Nadiku


ada nyamuk asik berenang
di permukaan ladang darah kulitku
darahnya tuhan

kata papa:
ada bunga matahari tumbuh
merekah megah di bantargebang
di puncak sampah peradaban manusia

malaikat asik tertawa
dalam kotoranku bersama cacing lahap
mereka saling pagut

ada tuhan berenang gaya kupukupu
dalam pembuluh nadiku

iblis gelayut pada bulu hidungku
selagi aku onani

jibril teriak sunyi 
di gendang telinga muhammad:
       Bacalah!

-2011

Ibu yang Menjelma Laba-laba


"Ibu, malam ini aku ingin tidur dalam rahimmu"
kata sang anak mengiba, sehabis menangis
"tidurlah di kamar itu, nak" kata sang ibu
rahimnya telah lesut kering

tepat pukul duabelas malam, sang ibu menjelma
     labalaba
dia melanjutkan alamnya untuk
merajut sajak yang tak pernah sudah

"akan kubuat sebuah cemeti"
bisiknya lirih, sendiri
di ruang jendela, bulan menjelma 
kelindanan benang putih

di ruang tengah, ayah menjelma televisi
    matanya harimau

Padang, 2012

Senja yang Cemburu pada Pagi


maka cemburulah senja kepada pagi
pada saat bebangau putih
terbang meninggalkannya
karena mega tak merah lagi

dan seorang pembaca
tenggelam dalam sebuah sajak
termenung pada sekotak hampa, 
di antara setiap kata

saban hari, waktu menari bersama mereka
reranting pohon bercumbu dengan angin
dedaunan mendesah, mengucap kata resah

di beranda, sang pembaca termenung, tengadah senja
mengeja seekor bangau putih yang terpisah dari kawanannya
lalu ditelan pekatnya malam, pada seruang sepi
di antara setiap kata

Padang, 2012

Batas


batas mimpi, batas tidur
di batas orang-orang mendengkur
di batas umur yang melacur

"tidurlah nak, ibu akan mendongengimu
tentang gosip pagi dalam televisi
tentang tikus-tikus yang menggerogoti sendi-sendi ranjangmu
tentang diary selebritas dalam blackbarry"

sebelum masuk tujuh menit fase tidur
ada hantu yang menghimpit kepala
hantu yang menjaga pintu
hantu yang selalu memburu waktu

sehingga kau takkan pernah cukup
seakan perutmu adalah ceruk tak bertepi
seperti pohon beringin berbakteri
yang memakan matahari
mereka menyebutnya fotosintesis

di ambang batas tidur
sebelum kau sempat membuka pintu
dering jam waker menyembunyikan rumahmu

Tangerang, 2012

Pada Suatu Diriku yang Lain


pada suatu diriku yang lain
mungkin yang lebih matang
seperti ibu yang tahu bahwa bayinya akan lahir
aku tidak lagi membutuhkan seraut wajah
apakah pipinya merona
apakah alisnya tebal merambat
apa warna matanya
seberapa ranumkah bibirnya

pada suatu musim yang lain
yang lebih dalam
seperti laut yang mengandung tenang
aku tidak lagi membutuhkan cermin
siapakah yang berada di dalamnya
aku tak begitu peduli lagi
akan kubalik cermin itu menghadap tembok
sehingga hanya punggung cermin dan
bukan siapa 
dan tembok yang berpelitur senja

tanpa kata, seekor lebah madu
hinggap pada sekuntum bunga, tidak mawar
tidak juga matahari
tapi gerak angin tahu
bahwa ia wangi

seperti malam berujar diam

Tangerang, 2012