Di kafe kecil di pasar lama pinggir sungai itu, mereka
mendengarkan lagu Its Take Two to Tango, untuk
terakhir kalinya, sebelum mereka meninggalkan kota kenangan itu. Mereka,
sepasang asing yang kerap singgah di kedai kopi tersebut hanya untuk membunuh
waktu yang terlalu sunyi di tengah keramaian, menyadari kehadiran masing-masing
tapi tidak memiliki keberanian untuk berkenalan, menikmati lagu dengan ritme
melodi yang riang, yang entah kenapa terdengar lebih biru.
Secara wajah, mereka sudah lama
saling kenal,
setidaknya,
mereka biasa datang di kedai kopi
tersebut pada jam yang sama,
entah kenapa,
menikmati wajah masing-masing
sembari melakukan aktivitas masing-masing.
Pada pukul segitu, sang lelaki
sudah lebih dulu datang, mungkin, tigapuluh menit lebih cepat dari si
perempuan. Lelaki itu selalu melihat jam tangan yang dia kebat di pergelangan
kanan ketika wanita itu datang, menghadap ke netbooknya, entah itu sedang menyunting, atau menulis, atau menulis
ulang.
Sedangkan wanita itu tiba dengan
membawa esmoka dan sepiring kroisang sosis, duduk di tempat yang sama, di sudut
di mana dia dapat menikmati waktunya dengan santai, sambil sesekali melirik
kepada lelaki itu. Entah kenapa, ketika wanita itu meliriknya, sang lelaki
menyadarinya, yang saat itu terjadi, sang wanita melihat ke arah lain, agar
mungkin, lelaki itu tidak mengetahui bahwa dia, wanita asing di kedai itu kerap
memerhatikannnya.
Tapi lelaki itu tahu. Dan wanita
itu juga tahu bahwa lelaki itu memerhatikannya. Tapi tetap saja, masing-masing,
tidak berani untuk mengambil tindakan untuk berkenalan, dan membuka pintu
petualangan baru dari sepasang asing yang tak saling kenal, tapi sudah lama
akrab.
Selagi saling memerhatikan dan
saling pura-pura tidak memerhatikan, masing-masing tenggelam dalam pikiran,
hingga jauh ke masa lampau, di mana sepertinya, mereka pernah bertemu. Kedua
wajah itu, merasakan, entah kenapa, mereka pernah saling bersama dan
bercengkrama,
entah pada masa apa.
Mereka pun berpisah, untuk yang
terakhir kali. Mungkin masing-masing menyadari bahwa sebenarnya, mereka saling
melempar senyum tersembunyi, dengan maksud sedang menikmati masa lalu, yang
sesungguhnya adalah isyarat, bahwa mereka saling tarik-menarik, secara
jiwa.
Mereka pun berpisah, kembali
kepada kehidupan masing-masing, dunia masing-masing, yang kalau, seandainya
mereka bersama, apakah dunia mereka bisa bertemu dan menyatu, mengingat kedua
orang asing yang telah berpisah itu, dan jalan saling memunggungi, ke arah
berlawanan, di jalan setapak, di antara pedagang-pedagang kaki lima yang
menghimbau orang-orang asing yang lewat dengan; sayang-anak-sayang-anak, banyak
anak banyak rezeki, dan toko-toko Tionghoa yang berbicara dengan karyawannya
penuh perhatian, seakan mereka memang berkeluarga sudah semenjak lama.
Mereka sampai di kamar
masing-masing. Lelaki itu, dengan biolanya dan tumpukan buku berserak dan
lembaran-lembaran notasi dan lirik-lirik lagu yang dicorat-coretnya, sebab
baginya, perfeksionisme adalah kehilangan dan penemuan sekaligus. Sementara
wanita itu, dengan wangi kamar oleh krisan merah, dan teh rosella yang dia
seduh dan letakkan di permukaan grand piano, memainkan musiknya sambil
mengenang lelaki itu, mengarang-ngarang pertemuan mereka kembali, seandainya
memang,
takdir dapat menemukan mereka.
Waktu berlalu bagai pendulum yang
bergerak perlahan ke kiri dan ke kanan, lalu ke kiri dan ke kanan lagi,
sementara jemari wanita itu menari di empat oktaf tutstuts piano, dan lelaki
itu memainkan biolanya, menggesekkan empat senarnya sembari merasakan nyeri di
dalam dadanya, di dalam rusuk kirinya, sambil menyesali kepecundangannya untuk
berkenalan dengan wanita itu, memulai awal yang baru, yang lebih segar, dan
penuh petualangan mengejutkan, sedikit menjengkelkan, dan terlalu banyak kangen.
Mereka memainkannya
Dan mereka terus memainkannya
Dan mereka memainkannya sembari
membayangkan perjumpaan acak mereka entah itu di pasar,
entah di dalam bus,
entah di dalam kereta,
entah di dalam pesawat.
Dan setelah delapan tahun,
sembilan tahun berlalu, saat masing-masing memenuhi panggilan manggung di Paris
Perancis, mereka pun bertemu kembali di pesawat yang sama, saling berhadapan,
di bangku masing-masing, merasakan sekujur tubuh mereka merinding,
Selanjutnya
Mereka pun sadar
Memang, mereka telah ditakdirkan
untuk bersama
antara matahari dan bulan itu…
[.2019-Februari-Sabtu.]