Sudah
seribu satu malam aku tidak pulang ke rumah Mama, semenjak aku terlalu lama
sibuk memerhatikan lukisan wayang dengan segelas Aqua dan dua kaleng es moka
dan satu latte dan satu kopi hitam dan satu jeruk terpajang di dinding
Nusantara III. Aku baru selesai membaca Alquran, setelah seribu satu malam
tak membacanya, setelah aku selesai membaca Hutan semenjak aku
membacanya bersama calon istriku, maksudku mantan calon istriku, maksudku
mantan pacarku, sahabat, kekasih, orang tua, bocah, ibu, Om Sony, Bagus,
Ibuku, Mulia, Rien, pedagang-pedagang di pasar, tukang
ojek, pegawai rendah kantor, pegawai tinggi kantor, pegawai rendah, rendah,
rendah dan tinggi, tinggi berbagai bentuk tumbuhan dan hewan, hewan tumbuhan dan
bumi dan laut, langit.
Aku
ingin mengutip Alfatihah agar kau membacanya. Tapi kupikir kau bisa
membacanya sendiri pada Mbah Google. Dan aku yakin akan kautemukan jutaan
laman dan makna dan suara dan adegan-adegan kepahlawanan dan cinta dan bumi
pada berbagai bentuknya. Kau tidak perlu terlalu dalam menggalinya atau
membacanya dengan igau, cukup dengarkan sebagaimana Muazin canggih
sepanjang masa melantunkannya Jazz sebagaimana Louis
Armstrong berdendang tentang bumi yang basah langit yang teduh anak-anak menyaksikan biji tumbuh perlahan menjadi tunas dan akar dan akar, akar,
akar lalu pucuk dan pucuknya tumbuh liar menjadi pohon beringin yang daunnya
hijau dan lebat dan bocah-bocah bisa terlelap di bawahnya setelah mendengar
suara angin dan suara burung-burung layaknya bayi pertamakali
mendengar kata ibu dan ayah dan sahabat, cinta.
Seribu
satu waktu lalu aku duduk bersama Ibuku di sofa ruang tamu. Di sebelahnya
adalah Teddy Bear raksasa merah cerah milik adik cewekku yang tangguh.
Setelah dua jam aku sampai di taman bunga ini, maksudku rumah Mamaku ini,
percaya tak percaya moncongnya kembang-kempis. Aku memerhatikannya
demikian antara batas delusi dan realitas. Kau tahu sedang delusi namun
matanya memandangmu binar, jahitan moncongnya hendak cabik tertawa terbahak mentertawakanku alam semesta. Oh, aku
melihat shall adikku yang cewek itu, eh cowok itu, maksudku perempuan
tangguh itu tergelung menghangatkan lehernya yang gempal. Aku jadi tersesat dan lupa akan bumiku,
maksudku Ibuku, Mamaku, laut.
Perihal Hutan, aku teringat bahwa aku tidak punya
satu karya tunggal yang kuidolai atau kultusi, seperti Musashi dalam hutan Noorway pada batas antara hello dan goodby pertemuan dan
perpisahan, perpisahan pertemuan. Dan aku teringat akhir kisah Cinta Saat Musim Kalera. Pada kapal yang benderanya hati merah jambu itu Sang Nahkoda sedang membawa kami mengarungi Nusantara.
Seribu
satu hari yang lalu pada sofa yang sama aku dan ibuku memiliki keinginan yang
telah kita sepakati, tapi tssst, hanya aku ibuku alam semesta yang tahu. Sebelum kutulis surat ini, telah kutulis surat kepada
lelaki paruh baya yang semenjak bertemunya, aku seperti
memanggilnya Om bersamaan panggilan Ayah. Aku tuliskan di balik
halaman bawah, setelah kulipat kertasnya dan kumasukkan dalam amplop, seketika
jutaan bunga tumpah ruah dari cakrawala.
-Hizbul Ridho, Februari 2015
-Hizbul Ridho, Februari 2015