Sabtu, 07 November 2015

Rumah Taman Bunga




Sudah seribu satu malam aku tidak pulang ke rumah Mama, semenjak aku terlalu lama sibuk memerhatikan lukisan wayang dengan segelas Aqua dan dua kaleng es moka dan satu latte dan satu kopi hitam dan satu jeruk terpajang di dinding Nusantara III. Aku baru selesai membaca Alquran, setelah seribu satu malam tak membacanya, setelah aku selesai membaca Hutan semenjak aku membacanya bersama calon istriku, maksudku mantan calon istriku, maksudku mantan pacarku, sahabat, kekasih, orang tua, bocah, ibu, Om Sony, Bagus, Ibuku, Mulia, Rien, pedagang-pedagang di pasar, tukang ojek, pegawai rendah kantor, pegawai tinggi kantor, pegawai rendah, rendah, rendah dan tinggi, tinggi berbagai bentuk tumbuhan dan hewan, hewan tumbuhan dan bumi dan laut, langit.

Aku ingin mengutip Alfatihah agar kau membacanya. Tapi kupikir kau bisa membacanya sendiri pada Mbah Google. Dan aku yakin akan kautemukan jutaan laman dan makna dan suara dan adegan-adegan kepahlawanan dan cinta dan bumi pada berbagai bentuknya. Kau tidak perlu terlalu dalam menggalinya atau membacanya dengan igau, cukup dengarkan sebagaimana Muazin canggih sepanjang masa melantunkannya Jazz sebagaimana Louis Armstrong berdendang tentang bumi yang basah langit yang teduh anak-anak menyaksikan biji tumbuh perlahan menjadi tunas dan akar dan akar, akar, akar lalu pucuk dan pucuknya tumbuh liar menjadi pohon beringin yang daunnya hijau dan lebat dan bocah-bocah bisa terlelap di bawahnya setelah mendengar suara angin dan suara burung-burung layaknya bayi pertamakali mendengar kata ibu dan ayah dan sahabat, cinta.

Seribu satu waktu lalu aku duduk bersama Ibuku di sofa ruang tamu. Di sebelahnya adalah Teddy Bear raksasa merah cerah milik adik cewekku yang tangguh. Setelah dua jam aku sampai di taman bunga ini, maksudku rumah Mamaku ini, percaya tak percaya moncongnya kembang-kempis. Aku memerhatikannya demikian antara batas delusi dan realitas. Kau tahu sedang delusi namun matanya memandangmu binar, jahitan moncongnya hendak cabik tertawa terbahak mentertawakanku alam semesta. Oh, aku melihat shall adikku yang cewek itu, eh cowok itu, maksudku perempuan tangguh itu tergelung menghangatkan lehernya yang gempal. Aku jadi tersesat dan lupa akan bumiku, maksudku Ibuku, Mamaku, laut.

Perihal Hutan, aku teringat bahwa aku tidak punya satu karya tunggal yang kuidolai atau kultusi, seperti Musashi dalam hutan Noorway pada batas antara hello dan goodby pertemuan dan perpisahan, perpisahan pertemuan. Dan aku teringat akhir kisah Cinta Saat Musim Kalera. Pada kapal yang benderanya hati merah jambu itu Sang Nahkoda sedang membawa kami mengarungi Nusantara.

Seribu satu hari yang lalu pada sofa yang sama aku dan ibuku memiliki keinginan yang telah kita sepakati, tapi tssst, hanya aku ibuku alam semesta yang tahu. Sebelum kutulis surat ini, telah kutulis surat kepada lelaki paruh baya yang semenjak bertemunya, aku seperti memanggilnya Om bersamaan panggilan Ayah. Aku tuliskan di balik halaman bawah, setelah kulipat kertasnya dan kumasukkan dalam amplop, seketika jutaan bunga tumpah ruah dari cakrawala. 

-Hizbul Ridho, Februari 2015

Kerangka Rumah Taman Bunga







Sudah seribu satu malam aku tidak bertemu Mama, semenjak aku terlalu lama sibuk memerhatikan lukisan wayang dan angkara murka dengan sebotol Aqua dan dua kaleng es moka dan latte dan kopi hitam dan sebuah jeruk terpajang pada dinding Nusantara III pada bulan sepenggal. Aku baru selesai membaca Alquran, setelah seribu satu malam tak membacanya, setelah aku selesai membaca Borneo Wood dan Papua Wood semenjak terakhir kali kubaca bersama calon istriku atau sahabat hidupku dan kekasih, orangtua, bocah, ibu, Om Sony, Bagus, Ibuku, mantan calon istriku, Mulia, Rien, pedagang-pedagang di pasar, tukang ojek, pegawai rendah kantor, pegawai tinggi rendah, rendah dan dalamdalam kemudian tinggi, berbagai bentuk tumbuhan, dan hewan, hewan tumbuhan dan bumi dan laut, langit.

Aku ingin mengutip Alfatihah agar kau juga membacanya. Namun kupikir, kau bisa membacanya sendiri pada Mbah Google. Dan kuyakin, akan kau temukan jutaan laman dan suara dan makna dan adegan kepahlawanan dan cinta dan bumi dan langit dan laut pada berbagai bentuknya. Kau tidak perlu dalam menggalinya atau melantunkannya seperti nyamuk yang mabuk. Cukup dengarkan sebagaimana Muazin canggih sepanjang masa mendongengimu layaknya Louis Armstrong melantunkanmu Jazz perihal bumi, batas cakrawala, langit yang teduh oleh mata binar bocah-bocah. Sebagaimana mereka terkesima menyimak biji tumbuh perlahan menjadi beringin yang daunnya hijau dan lebat dan teduh, bocah-bocah bisa terlelap di akarnya seraya mendengar desau angin dan kicau burung sebagaimana bayi pada mulanya kata ibu dan ayah dan sahabat, cinta.

Seribu satu waktu yang lalu aku duduk bersama Ibu di sofa ruang tamu ini. Di sebelahnya adalah Teddy Bear raksasa merah cerah, milik adik cewekku yang tangguh. Setelah dua jam aku sampai di taman bunga ini, maksudku rumah Mamaku ini, percaya-tak-percaya jahitan senyum di moncongnya kembang kempis, aku memerhatikannya demikian sebagai batas delusi dan realitas. Kau tahu, delusi, namun matanya memandangmu binar lalu senyum Teddy Bear itu cabik rekah tertawa mentertawakanku alam semesta.

Sebelum itu, aku membaca paragraf awal pengarang kontemporer penunggang burung dari Negeri Para Kesatria sebab tak ada satupun buku yang kucintai dan kubenci sekaligus sebagaimana Musashi dalam hutan Noorway pada batas antara hell-o dan good-by, pertemuan dan perpisahan, pertempuran penghabisan.

Aku teringat, kisah Cinta Saat Musim Kolera, di mana wabah berpencar ke segala penjuru sebagai burung dan dua orang Nusantara tua dan seorang Perancis tenggelam masih menjunjung dua bayi merah pada batas air. Aku teringat, pernah bercakap-cakap dengan nahkoda burung itu layaknya semut dan nyamuk berbincang pada batas nadi. Kami kepingin bercakap perihal darah menderas namun semut itu hanya mengoceh soal udara dan hampa.

Seribu satu hari yang lalu pada sofa yang sama aku dan ibu telah miliki kelindanan yang sama, yang membuat rajutan kami takkan putus hingga batas air cakrawala nadi. Dan kau tahu, dari batas kantung surat yang aku alam semesta tahu, bebunga surga tumpahruah sesaki kamar, rumah, halaman hingga jalan-jalan raya dan batas labirin.

-Hizbul Ridho, Februari 2015