Mari
bertemu Same dalam sebuah acara pembukaan pameran lukisan di Jakarta. Same
berasal dari Virginia, Amerika Serikat, tapi sudah lama tinggal di Jakarta
untuk kepentingan pekerjaan. Mari sendiri baru pulang dari Amsterdam untuk
menemani Jaka Ben Arfa menyelesaikan pendidikan doktoralnya. Dalam acara
pembukaan pameran pada malam itu, Same menghampiri Mari di hadapan sebuah
lukisan yang sepertinya Mari sangat suka memandanginya lama-lama.
“Tampaknya,
Nona memiliki sepasang mata yang jeli dalam melihat sebuah karya,” kata Same
dari balik punggung Mari.
Mari
memutar lehernya, dan mendapati lelaki pirang bermata biru itu tersenyum
kepadanya. “Ah, Tuan!” kata Mari dengan sedikit terkejut, “hanya seorang
penikmat amatir.”
“Tak
ada kata amatir dalam kamus para penikmat seni, Nona,” kata Same. “Ini soal
selera, dan sepertinya selera Nona bukan selera orang sembarangan.”
Kata-kata
Same membuat kedua pipi Mari sekonyong merah merona.
“Nona
suka dengan lukisan ini?” kata Same, setelah melihat Mari masih juga tenggelam
dalam kata-katanya.
“Entahlah,
Tuan,” kata Mari. Ia memandangi lukisan di hadapan mereka dengan sepasang mata
mengimpi. “Entah kenapa lukisan ini mengingatkanku pada kampung halaman.”
___
Kampung
halaman itu memang sudah lama Mari tinggalkan, sejak ia menikah dengan Jaka Ben
Arfa. Sesungguhnya, lelaki ini tak pernah benar-benar mencuri hati Mari, sebab
hati Mari sudah menjadi milik Burhan, seperti juga hati Burhan milik
Mari. Tapi, Midas tak ingin Mari kawin dengan seorang pelukis kapiran seperti
Burhan. Dan, Jaka Ben Arfa jelas sudah berhasil mencuri hati Midas, setelah ia
mengatakan kepadanya bahwa ia akan pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikan
doktoralnya.
“Dan,
kalau Mari masih menolak lamaran saya kali ini, Tante,” kata Jaka Ben Arfa
kepada Midas saat ia melamar Mari untuk yang kali ketiga, “saya nggak tau kapan
saya ada kesempatan melamarnya lagi.”
“Mari
akan menerima lamaranmu,” kata Midas dengan mantap.
“Tapi,
Mari nggak cinta sama... Mi,” kata Mari kepada Midas, setelah Midas memaksanya
kawin dengan Jaka Ben Arfa.
“Cinta
itu menghidupi, anak kandung!” kata Midas. “Dan, kamu nggak bakal bisa hidup
hanya dengan lukisan! Apalagi kalau lukisan-lukisan itu enggak laku-laku!”
Kata-kata
itu jelas menyakiti hati Mari, tapi Mari juga tak bisa menyangkalnya.
Lukisan-lukisan Burhan memang belum ada yang laku, dan Mari sama sekali tak
bisa memahami mengapa Burhan tak sedikit pun merasa khawatir akan hal itu. Pada
suatu kali Mari pernah bertanya kepada Burhan, mengapa ia tak pergi ke Jakarta,
dan bergabung bersama para pelukis yang melukis untuk Presiden.
“Aku
melukis bukan untuk uang, Cinta,” kata Burhan pada waktu itu.
“Tapi,
kamu membutuhkan uang buat hidup, biar kamu bisa terus melukis, Han” kata Mari.
“Seni
bakal menemukan caranya sendiri untuk hidup, sweaty,” kata Burhan, tersenyum,
lalu melanjutkan kata-katanya dengan kata-kata yang pada saat itu Mari gagal
memahaminya:
“Vita
brevis ars longa.”
Mari
mencoba membuat Burhan merasa sedikit khawatir pada masa depan hubungan mereka
dengan mengatakan kepada Burhan bahwa Jaka Ben Arfa sudah melamarnya dua kali.
Tapi, ternyata itu hanya membuat Burhan tersenyum, lalu mengatakan kepada Mari
bahwa ia bebas memilih.
“Kamu
bisa kawin dengan si Jaka, hidup mewah, dan membuat Mamimu yang mata duitan itu
bahagia,” kata Burhan. “Tapi, tentu kamu bakal kehilangan kehidupan romantis
bersama seorang seniman miskin yang tak pernah mau menyerah kalah pada hidup,
seperti diriku, hahaha...”
Mengenang
kata-kata Burhan tersebut, pada akhirnya Mari memutuskan untuk menyerah kalah
pada hidup, dan memilih kemewahan, sebab ia sudah pernah merasakan kehidupan
yang romantis bersama seorang seniman miskin.
Dan,
kehidupan semacam itulah yang Mari rindukan selama ia hidup di Amsterdam
bersama suaminya. Kerinduan yang tak juga bisa diobati sekalipun mereka sudah
pulang ke Indonesia, dan hidup di Jakarta. Mari sangat merindukan bunyi tetesan
air hujan yang merembes di langit-langit kamar Burhan, merindukan gigitan
kutu-kutu busuk yang bersarang di balik kasur Burhan, merindukan bau apak kaos,
dan kamar Burhan di musim kemarau, juga bau cat minyak yang masih basah pada
kanvas-kanvas Burhan. Mari merindukan Burhan selengkapnya saat ia sudah menjadi
istri Jaka Ben Arfa.
Itulah
yang kemudian membuat Mari berdiam cukup lama di hadapan sebuah lukisan yang
pada malam itu dipamerkan di Jakarta. Di hadapan lukisan itu, Mari mengenangkan
kembali kehidupannya bersama Burhan.
“Realisme
sosialis memang layak dikagumi, Nona,” kata Same. “Lukisan ini adalah sebuah
mahakarya.”
___
Same
jelas berbohong, setidaknya kepada diri sendiri, saat ia mengatakan hal itu
kepada Mari. Ia benci lukisan di hadapan mereka. Lukisan itu bukan karya seni,
kata Same pada suatu kali tentang lukisan semacam itu. Itu hanya perpanjangan
tangan kekuasaan.
Same
sudah mendengar banyak keluhan dari para seniman yang tak bisa menjual karya
mereka gara-gara karya semacam itu. Beberapa tahun lalu, harga lukisan
pemandangan jatuh di pasaran karena lukisan-lukisan semacam itu. Kedatangan
tentara Jepang ke Hindia, beberapa tahun setelahnya, juga semakin memperkuat
keberadaan lukisan-lukisan semacam itu di Jawa.
“Tentara-tentara
kuning ini melihat para seniman tak ubahnya seorang pelayan,” kata salah
seorang pelukis kepada Same pada suatu kali. “Masa, aku disuruh bikin poster
buat mereka?!”
“Agamaku
melarangku menggambar orang,” kata salah seorang pelukis lainnya kepada Same.
“Kalau aku menggambar orang, aku bakal masuk neraka. Tapi, kalau aku enggak
menggambar orang, dunia ini yang bakal jadi neraka buatku!”
“Seniman-seniman
itu sudah bikin Plato tertawa dari dalam kuburnya,” kata seorang pematung
kepada Same pada kali yang lain. “Mereka sudah bikin seni jadi sangat rendah
karena pada akhirnya seni cuma bisa meniru apa yang sudah ada.”
Keluhan-keluhan
tersebut membuat Same jadi pusing tujuh keliling. Ia punya banyak karya seni
yang ingin ia jual di Indonesia, tapi keluhan-keluhan tersebut jelas membuat ia
jadi ragu. Dan, Bung Karno, jika memang orang ini adalah seorang penikmat seni
sejati, demikian Same berpikir, seharusnya ia tak hanya membeli karya-karya
beraliran serupa. Same tahu bahwa dukungan Presiden terhadap para pelukis
terbukti sangat berpengaruh, dan ia mendapati bahwa Presiden ternyata juga
memiliki segelintir seniman kesayangan, yang jelas membuat banyak seniman lain
jadi cemburu.
Same
membacai kembali berkas-berkas dari kantor pusatnya di Virginia. Tapi, ternyata
ia tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk menemukan apa yang ia butuhkan.
Bahkan kopi dalam cangkirnya juga belum tandas seluruhnya saat ia menemukan apa
yang ia butuhkan tersebut. Lukisan-lukisan sialan itu ternyata hanya punya satu
suara, dan jika Same bisa membungkam suara tersebut, tentu akan mudah baginya
untuk kemudian menjual karya-karya seni kepunyaannya.
Tapi,
sepertinya orang ini sangat pintar, demikian Same berpikir kemudian. Sudah ada
banyak suara yang berusaha mematahkannya, tapi orang ini selalu bisa membuat
semua orang berpihak kepadanya, dan membuat penentangnya jadi kalah dukungan.
Seluruh berkas yang ada di hadapannya menunjukkan bahwa segala macam teori
sudah disusun untuk mematahkan orang ini, tapi orang ini tak pernah kehilangan
kata-katanya barang sepatah pun. Dan, di tengah usahanya dalam mencari jalan
untuk mematahkan suara tunggal dari lukisan-lukisan sialan tersebut, salah
seorang rekan kerja Same masuk ke dalam ruangannya.
“Aku
heran,” gumam rekan Smith, membacai berkas di tangannya. “Bung Karno enggak
pernah suka menerima tamu orang Amerika kayak kita, tapi si Candy ini bisa
ngobrol lama sama dia.”
“Cindy?”
kata Smith. “Cindy siapa?”
“Cindy
Adams.”
___
Pada
sebuah acara pembukaan pameran lukisan di Jakarta, Same tak bisa melepaskan
tatapannya dari satu sosok perempuan. Perempuan itu masuk ke ruang pamer
bersama seorang lelaki, yang sepertinya adalah suaminya. Same terus
memandanginya, bukan hanya karena perempuan itu sangat cantik, melainkan juga
karena di sisi pasangannya, di tengah keramaian sebuah acara pembukaan pameran,
perempuan itu justru kelihatan sangat kesepian.
Same
tertarik pada kesepian perempuan tersebut, dan penasaran akan apa yang sudah
membuat perasaan semacam itu hinggap di tempat seramai ini. Adalah wajar jika
ia, Same, yang merasakan perasaan semacam itu. Same sudah lama tinggal di
Jakarta, dan lama tak bertemu dengan anak isterinya di Virginia. Tapi,
perempuan ini? Ia ada di sini bersama pasangannya, dan ia tetap merasa
kesepian...
Pada
akhirnya, Same memutuskan untuk menghampiri si perempuan saat perempuan itu
terpisah dari pasangannya, dan terpaku di hadapan sebuah lukisan yang
sepertinya ia suka memandanginya lama-lama.
“Aku
kenal dengan pelukisnya,” kata Same, setelah mereka mengobrol selama beberapa
menit.
Perempuan
itu tak mengatakan apapun. Lukisan di hadapan mereka seolah sudah menyerap
seluruh kesadaran perempuan itu, dan membawanya pergi entah ke mana. Dan,
melihat bahwa sepertinya perempuan itu masih akan tenggelam dalam pikirannya
sendiri dalam waktu yang agak lama, Same memutuskan untuk memanggil pelukis
yang ia maksud.
Beberapa
saat kemudian, yang dimaksud datang menghampiri. “Apa kabar, Bung?” kata
seorang lelaki berkumis tipis dan berkacamata tebal itu kepada Same.
“Baik,
Bung,” kata Same, tersenyum, kemudian memperkenalkan si pelukis kepada
perempuan di samping mereka. “Sepertinya, Nona ini sangat mengagumi lukisan
Anda, Bung,” katanya.
Mendengar
kata-kata Same kepada si pelukis, perempuan itu pun mengalihkan pandangannya
dari lukisan yang sepertinya ia suka memandanginya lama-lama tersebut dan
langsung beradu pandang dengan si pelukis, yang sekonyong membuat jantung
perempuan itu berdegup kencang.
Si
pelukis menjabat tangan perempuan itu, memandangi sepasang matanya lama-lama,
dan tersenyum, lalu berkata:
“Sudjojono.”
Jakarta,
2016i
*Bagus
Purwoadi: Seorang kawan yang asyik diajak diskusi apa saja..