Selasa, 08 Maret 2016

Pengirim Bunga oleh Bagus Purwoadi


Image result for Sudjojono




Mari bertemu Same dalam sebuah acara pembukaan pameran lukisan di Jakarta. Same berasal dari Virginia, Amerika Serikat, tapi sudah lama tinggal di Jakarta untuk kepentingan pekerjaan. Mari sendiri baru pulang dari Amsterdam untuk menemani Jaka Ben Arfa  menyelesaikan pendidikan doktoralnya. Dalam acara pembukaan pameran pada malam itu, Same menghampiri Mari di hadapan sebuah lukisan yang sepertinya Mari sangat suka memandanginya lama-lama.

 “Tampaknya, Nona memiliki sepasang mata yang jeli dalam melihat sebuah karya,” kata Same dari balik punggung Mari.

 Mari memutar lehernya, dan mendapati lelaki pirang bermata biru itu tersenyum kepadanya. “Ah, Tuan!” kata Mari dengan sedikit terkejut, “hanya seorang penikmat amatir.”

 “Tak ada kata amatir dalam kamus para penikmat seni, Nona,” kata Same. “Ini soal selera, dan sepertinya selera Nona bukan selera orang sembarangan.”  

 Kata-kata Same membuat kedua pipi Mari sekonyong merah merona.

 “Nona suka dengan lukisan ini?” kata Same, setelah melihat Mari masih juga tenggelam dalam kata-katanya.

 “Entahlah, Tuan,” kata Mari. Ia memandangi lukisan di hadapan mereka dengan sepasang mata mengimpi. “Entah kenapa lukisan ini mengingatkanku pada kampung halaman.”

___

Kampung halaman itu memang sudah lama Mari tinggalkan, sejak ia menikah dengan Jaka Ben Arfa. Sesungguhnya, lelaki ini tak pernah benar-benar mencuri hati Mari, sebab hati  Mari sudah menjadi milik Burhan, seperti juga hati Burhan milik Mari. Tapi, Midas tak ingin Mari kawin dengan seorang pelukis kapiran seperti Burhan. Dan, Jaka Ben Arfa jelas sudah berhasil mencuri hati Midas, setelah ia mengatakan kepadanya bahwa ia akan pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikan doktoralnya.

 “Dan, kalau Mari masih menolak lamaran saya kali ini, Tante,” kata Jaka Ben Arfa kepada Midas saat ia melamar Mari untuk yang kali ketiga, “saya nggak tau kapan saya ada kesempatan melamarnya lagi.”

 “Mari akan menerima lamaranmu,” kata Midas dengan mantap.

 “Tapi, Mari nggak cinta sama... Mi,” kata Mari kepada Midas, setelah Midas memaksanya kawin dengan Jaka Ben Arfa.

 “Cinta itu menghidupi, anak kandung!” kata Midas. “Dan, kamu nggak bakal bisa hidup hanya dengan lukisan! Apalagi kalau lukisan-lukisan itu enggak laku-laku!”

 Kata-kata itu jelas menyakiti hati Mari, tapi Mari juga tak bisa menyangkalnya. Lukisan-lukisan Burhan memang belum ada yang laku, dan Mari sama sekali tak bisa memahami mengapa Burhan tak sedikit pun merasa khawatir akan hal itu. Pada suatu kali Mari pernah bertanya kepada Burhan, mengapa ia tak pergi ke Jakarta, dan bergabung bersama para pelukis yang melukis untuk Presiden.

 “Aku melukis bukan untuk uang, Cinta,” kata Burhan pada waktu itu.

 “Tapi, kamu membutuhkan uang buat hidup, biar kamu bisa terus melukis, Han” kata Mari.

 “Seni bakal menemukan caranya sendiri untuk hidup, sweaty,” kata Burhan, tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya dengan kata-kata yang pada saat itu Mari gagal memahaminya: 

 “Vita brevis ars longa.”

 Mari mencoba membuat Burhan merasa sedikit khawatir pada masa depan hubungan mereka dengan mengatakan kepada Burhan bahwa Jaka Ben Arfa sudah melamarnya dua kali. Tapi, ternyata itu hanya membuat Burhan tersenyum, lalu mengatakan kepada Mari bahwa ia bebas memilih. 

“Kamu bisa kawin dengan si Jaka, hidup mewah, dan membuat Mamimu yang mata duitan itu bahagia,” kata Burhan. “Tapi, tentu kamu bakal kehilangan kehidupan romantis bersama seorang seniman miskin yang tak pernah mau menyerah kalah pada hidup, seperti diriku, hahaha...”

 Mengenang kata-kata Burhan tersebut, pada akhirnya Mari memutuskan untuk menyerah kalah pada hidup, dan memilih kemewahan, sebab ia sudah pernah merasakan kehidupan yang romantis bersama seorang seniman miskin.

 Dan, kehidupan semacam itulah yang Mari rindukan selama ia hidup di Amsterdam bersama suaminya. Kerinduan yang tak juga bisa diobati sekalipun mereka sudah pulang ke Indonesia, dan hidup di Jakarta. Mari sangat merindukan bunyi tetesan air hujan yang merembes di langit-langit kamar Burhan, merindukan gigitan kutu-kutu busuk yang bersarang di balik kasur Burhan, merindukan bau apak kaos, dan kamar Burhan di musim kemarau, juga bau cat minyak yang masih basah pada kanvas-kanvas Burhan. Mari merindukan Burhan selengkapnya saat ia sudah menjadi istri Jaka Ben Arfa. 

 Itulah yang kemudian membuat Mari berdiam cukup lama di hadapan sebuah lukisan yang pada malam itu dipamerkan di Jakarta. Di hadapan lukisan itu, Mari mengenangkan kembali kehidupannya bersama Burhan.

 “Realisme sosialis memang layak dikagumi, Nona,” kata Same. “Lukisan ini adalah sebuah mahakarya.”

___

Same jelas berbohong, setidaknya kepada diri sendiri, saat ia mengatakan hal itu kepada Mari. Ia benci lukisan di hadapan mereka. Lukisan itu bukan karya seni, kata Same pada suatu kali tentang lukisan semacam itu. Itu hanya perpanjangan tangan kekuasaan.

 Same sudah mendengar banyak keluhan dari para seniman yang tak bisa menjual karya mereka gara-gara karya semacam itu. Beberapa tahun lalu, harga lukisan pemandangan jatuh di pasaran karena lukisan-lukisan semacam itu. Kedatangan tentara Jepang ke Hindia, beberapa tahun setelahnya, juga semakin memperkuat keberadaan lukisan-lukisan semacam itu di Jawa.

 “Tentara-tentara kuning ini melihat para seniman tak ubahnya seorang pelayan,” kata salah seorang pelukis kepada Same pada suatu kali. “Masa, aku disuruh bikin poster buat mereka?!”

 “Agamaku melarangku menggambar orang,” kata salah seorang pelukis lainnya kepada Same. “Kalau aku menggambar orang, aku bakal masuk neraka. Tapi, kalau aku enggak menggambar orang, dunia ini yang bakal jadi neraka buatku!”

 “Seniman-seniman itu sudah bikin Plato tertawa dari dalam kuburnya,” kata seorang pematung kepada Same pada kali yang lain. “Mereka sudah bikin seni jadi sangat rendah karena pada akhirnya seni cuma bisa meniru apa yang sudah ada.”

 Keluhan-keluhan tersebut membuat Same jadi pusing tujuh keliling. Ia punya banyak karya seni yang ingin ia jual di Indonesia, tapi keluhan-keluhan tersebut jelas membuat ia jadi ragu. Dan, Bung Karno, jika memang orang ini adalah seorang penikmat seni sejati, demikian Same berpikir, seharusnya ia tak hanya membeli karya-karya beraliran serupa. Same tahu bahwa dukungan Presiden terhadap para pelukis terbukti sangat berpengaruh, dan ia mendapati bahwa Presiden ternyata juga memiliki segelintir seniman kesayangan, yang jelas membuat banyak seniman lain jadi cemburu. 

 Same membacai kembali berkas-berkas dari kantor pusatnya di Virginia. Tapi, ternyata ia tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk menemukan apa yang ia butuhkan. Bahkan kopi dalam cangkirnya juga belum tandas seluruhnya saat ia menemukan apa yang ia butuhkan tersebut. Lukisan-lukisan sialan itu ternyata hanya punya satu suara, dan jika Same bisa membungkam suara tersebut, tentu akan mudah baginya untuk kemudian menjual karya-karya seni kepunyaannya.

 Tapi, sepertinya orang ini sangat pintar, demikian Same berpikir kemudian. Sudah ada banyak suara yang berusaha mematahkannya, tapi orang ini selalu bisa membuat semua orang berpihak kepadanya, dan membuat penentangnya jadi kalah dukungan. Seluruh berkas yang ada di hadapannya menunjukkan bahwa segala macam teori sudah disusun untuk mematahkan orang ini, tapi orang ini tak pernah kehilangan kata-katanya barang sepatah pun. Dan, di tengah usahanya dalam mencari jalan untuk mematahkan suara tunggal dari lukisan-lukisan sialan tersebut, salah seorang rekan kerja Same masuk ke dalam ruangannya.

 “Aku heran,” gumam rekan Smith, membacai berkas di tangannya. “Bung Karno enggak pernah suka menerima tamu orang Amerika kayak kita, tapi si Candy ini bisa ngobrol lama sama dia.”

 “Cindy?” kata Smith. “Cindy siapa?”

 “Cindy Adams.”

___

Pada sebuah acara pembukaan pameran lukisan di Jakarta, Same tak bisa melepaskan tatapannya dari satu sosok perempuan. Perempuan itu masuk ke ruang pamer bersama seorang lelaki, yang sepertinya adalah suaminya. Same terus memandanginya, bukan hanya karena perempuan itu sangat cantik, melainkan juga karena di sisi pasangannya, di tengah keramaian sebuah acara pembukaan pameran, perempuan itu justru kelihatan sangat kesepian. 

 Same tertarik pada kesepian perempuan tersebut, dan penasaran akan apa yang sudah membuat perasaan semacam itu hinggap di tempat seramai ini. Adalah wajar jika ia, Same, yang merasakan perasaan semacam itu. Same sudah lama tinggal di Jakarta, dan lama tak bertemu dengan anak isterinya di Virginia. Tapi, perempuan ini? Ia ada di sini bersama pasangannya, dan ia tetap merasa kesepian...

 Pada akhirnya, Same memutuskan untuk menghampiri si perempuan saat perempuan itu terpisah dari pasangannya, dan terpaku di hadapan sebuah lukisan yang sepertinya ia suka memandanginya lama-lama.

 “Aku kenal dengan pelukisnya,” kata Same, setelah mereka mengobrol selama beberapa menit. 

 Perempuan itu tak mengatakan apapun. Lukisan di hadapan mereka seolah sudah menyerap seluruh kesadaran perempuan itu, dan membawanya pergi entah ke mana. Dan, melihat bahwa sepertinya perempuan itu masih akan tenggelam dalam pikirannya sendiri dalam waktu yang agak lama, Same memutuskan untuk memanggil pelukis yang ia maksud. 

 Beberapa saat kemudian, yang dimaksud datang menghampiri. “Apa kabar, Bung?” kata seorang lelaki berkumis tipis dan berkacamata tebal itu kepada Same. 

 “Baik, Bung,” kata Same, tersenyum, kemudian memperkenalkan si pelukis kepada perempuan di samping mereka. “Sepertinya, Nona ini sangat mengagumi lukisan Anda, Bung,” katanya.

 Mendengar kata-kata Same kepada si pelukis, perempuan itu pun mengalihkan pandangannya dari lukisan yang sepertinya ia suka memandanginya lama-lama tersebut dan langsung beradu pandang dengan si pelukis, yang sekonyong membuat jantung perempuan itu berdegup kencang. 

 Si pelukis menjabat tangan perempuan itu, memandangi sepasang matanya lama-lama, dan tersenyum, lalu berkata: 

 “Sudjojono.”


Jakarta, 2016i

*Bagus Purwoadi: Seorang kawan yang asyik diajak diskusi apa saja..