Jumat, 25 Desember 2020

Pewaris Bumi Itu Sendiri

Belakangan saya sangat menyenangi menonton video-video woodworking di platform YouTube. Ishitani Furniture, Kobeomsuk Furniture, dan A Craftsmans Legacy adalah beberapa akun yang kerap saya kunjungi di antara yang lainnya. Di umur saya yang berkepala tiga ini, video-video tersebut secara mengejutkan, sangat menenangkan bagi diri saya pribadi. Bagaimana tanpa berkata-kata, para tukang kayu bekerja dengan visi dan dedikasi kepada profesi mereka: Mulai dari cetak biru dan pemilihan kayu, penggunaan perkakas tertentu untuk membentuk bagian tertentu, teknik berbeda untuk menghasilkan bagian berbeda. Semua proses itu berujung kepada perfeksionisme dalam bentuk dan fungsi sebuah produk jadi, dalam kesederhanaan wujudnya.

Dorongan saya untuk menjelajah kepada video-video tersebut adalah ingatan saya kepada Buku Lima Cincin karya Miyamoto Musashi. Ronin legendaris itu menyampaikan, untuk menguasai jalan atau way atau dou dalam falsafah Taoisme, seseorang mesti mempelajari jalan-jalan pada profesi lain. Musashi mempelajari seni pertukangan kayu untuk merampungkan pemahaman seni pedang dan perang yang ia dalami. Kita memahami, Musashi adalah seorang manusia multi dimensi, yang tidak hanya menguasai seni pedang dan perang, tapi juga lukis dan tulis, pembelajar kehidupan itu sendiri.

Belakangan saya menemukan, alasan sesungguhnya saya menyenangi menonton video-video tersebut adalah sebentuk pelarian diri dari drama kehidupan yang tak pernah sudah itu sendiri. Dalam video-video tersebut, saya menonton tanpa proses pikir dan rasa, membiarkan diri saya terpapar laku pertukangan kayu atas sebuah kreasi. Yang pada akhirnya menjadi sebentuk terapeutik, yang berpuncak kepada renjana saya kepada kebertukangan(craftsmanship) bercerita yang saya geluti.

Pelarian tersebut mungkin karena rasa muak saya dengan apa yang terjadi dengan sekeliling belakangan ini. Enam orang anggota Front Pembela Islam mati tertembak oleh peluru polisi atas sebuah insiden bentrokan, yang bermula dari kembalinya Sang Imam Besar dari pelariannya di luar negeri. Sebelum itu adalah ajakan revolusi moral yang negara lihat sebagai upaya subversi, sebelum itu adalah pelanggaran berkerumun di situasi pandemi, sebelum itu adalah vandalisme fasilitas umum pada penjemputan Sang Imam Besar sendiri.

Mungkin saya terlalu berlebihan dalam melihatnya. Namun bagi saya, apa yang terjadi itu adalah puncak gunung es di mana bayangan raksasa yang tak terjangkau media diam-diam menggeliat di bawah garis air. Mungkin juga butuh penelitian mendalam untuk mempelajari fenomena sosial belakangan ini. Namun, keresahan saya akan situasi zaman, membuat saya berpikir, kejadian tersebut memiliki akar yang lebih dalam dari sekadar perseteruan antara satu organisasi dengan organisasi lain. Mengingat yang berseteru juga adalah sesama melayu seperti diri kita ini.

Yang terang bagi saya, saya sudah sulit mengikuti perkembangan apa yang terjadi dalam media sosial, di mana gesekan terus terjadi dalam lingkar pergaulan manapun. Netizen kerap melontarkan pernyataan yang terlalu menyengat dengan emosi mentah yang membayanginya tanpa sebuah proses kontemplasi mendalam. Banyak faktor yang melatari itu semua, tentu saja. Banalitas kita dalam menyerap informasi yang sepotong-sepotong dari kitab besar lini masa media sosial dan kekecewaan dan ketidakpuasan kenyataan hidup, sehingga, dalam ruang media sosial, emosi negatif adalah kendaraan untuk memenuhi eksistensi secara semu, mentah, dan dangkal.

Lebih dari itu, saya melihat, dan mungkin saja saya salah, bahwa masyarakat kita masih terlalu emosional alih-alih rasional. Emosi kita masih terlalu mentah untuk dihidangkan sehingga drama picisan yang menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia jadi tak terhindarkan. Kerumunan tanpa daya pikir matangnya sendiri, menjadi ekses berbahaya bagi perkembangan mental organisme raksasa yang disebut bangsa. Saya tidak tahu, kepada siapa kita harus menyalahkan ini. Pemerintah? Pemuka agama? Pendidikan? Zaman? Masalah ini sudah menjadi terlalu kompleks sehingga antagonisme kepada pihak tertentu adalah sikap yang terburu-buru.

Keresahan yang saya alami, terlepas dari diri saya yang belum selesai (mungkin tidak akan pernah selesai) ini, membuat saya berkaca kepada Abad Pertengahan Eropa ketika agama menguasai negara sebelum terbitnya renaisans yang gilang-gemilang itu. Di masa itu, ketika rasionalisme adalah anak tiri zaman dan pemuka agama memusatkan semesta kehidupan kepada iman, karena keyakinan memang irasional alih-alih rasional, menciptakan sebuah kengerian masif dari emosi dan akal yang mentah: Hukum mati Kopernikus yang menyatakan kebenaran pusat tata surya, pembakaran para penyihir wanita di Salem, penebusan dosa hanya dengan pembayaran sejumlah uang.

Apakah bangsa ini sedang menghadapi abad kegelapannya sendiri, sebelum tokoh-tokoh tertentu di masa yang akan datang menyuarakan rasionalisme baru sehingga, kita akan sampai kepada pintu gerbang gelombang kebudayaan yang dinanti-nanti?

Keresahan saya ini mungkin terdengar halu dan parno dan baper. Namun perasaan itu nyata saya alami sebagai seorang anak zaman. Tentu saja persoalan kehidupan yang terjadi pada abad 21 ini jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan Abad Kegelapan Eropa. Namun, gelembung-gelembung (kotak-kotak) yang semakin bersitegang oleh pemanfaatan teknologi informasi, tipisnya empati dan rasionalitas, serta emosi mentah yang merasuk, menciptakan gerombolan massa zombi, yang merong-rong membabi-buta sudut-sudut kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.

Sebagaimana Yuval Noah Harari sebut dalam buku-bukunya, persoalan yang melampaui agama atau negara atau pandangan hidup sempit tertentu. Mungkin memang, kita membutuhkan sejenis pemikiran, di mana saya tidak lagi merasa bahwa saya hanyalah seorang muslim atau kafir, feminis atau patriarkis, kebaratan atau ketimuran, melainkan humanis, pewaris bumi itu sendiri.