Sabtu, 26 Desember 2015

Jack dan Daniel





Amara

Konon, pada diri setiap manusia dewasa yang hidup di bumi, terdapat sepasang malaikat bernama Jack dan Daniel yang bertugas mencatat amal buruk dan amal baik dari manusia yang ditempelinya, hingga manusia itu ditemui (dijemput) seorang malaikat lain yang namanya tak perlu disebutkan sebab tugasnya yang tak terlalu penting. Malaikat yang tak terlalu penting itu bertugas di Kementrian Kematian yang jam dinasnya tak sampai lima menit tepat pada saat si manusia meregang nyawa. Sedangkan Jack dan Daniel bekerja selama si manusia hidup. Namun sebenarnya, kedatangan malaikat yang namanya tak terlalu penting itu membikin Jack dan Daniel kegirangan. Kedatangan itu menandai berakhirnya masa dinas mereka dan Jack dan Daniel bisa segera pensiun lalu menikmati dua gelas wiski dingin di surga.

Semenjak Tuhan menurunkan tiga agama wahyu—yang tak bosan-bosannya berseteru—hingga hari yang paling kini, Jack dan Daniel sudah diberi pekerjaan seperti itu, yaitu Jack memiliki tugas mencatat segala perangai buruk manusia, sedangkan Daniel sebaliknya, mencatat segala amalan baik manusia. Pekerjaan mereka sangat penting sebab Tuhan tak ingin keberadaan manusia yang hobinya beranak pinak dan berperang itu menjadi sia-sia di muka bumi. Sebelum bumi, jauh hari tuhan telah menciptakan neraka dan surga. Tuhan tak ingin kedua tempat itu menjadi kosong melompong. Kendati demikian Tuhan juga membuatnya terbatashanya beberapa juta hektar yang angka pastinya hanya Tuhan yang tahu, yang menyebabkan kuota neraka dan surga untuk manusia menjadi terbatas pula. Oleh karena itulah Tuhan mendirikan Kementrian Amal Baik dan Amal Buruk tempat Jack dan Daniel bertugas, untuk mensortir manusia ke dalam surga dan neraka—kabarnya kuota neraka berkali lipat lebih banyak dibanding kuota surga.

Tuhan menjadikan Jack dan Daniel tak tampak oleh manusia. Tuhan memiliki alasan logis untuk itu. Jumlah penduduk bumi saat ini setengah triliun. Bayangkan, betapa sesaknya bumi sedangkan masing-masing manusia dikuntit sepasang petugas KABAB. Populasi Jack dan Daniel adalah dua kali lipat populasi manusia. Jika Tuhan membikin mereka nyata, maka, untuk bernapas pun mereka akan berebutan udara. Dari zaman dahulu hingga zaman kini, sepasang malaikat yang bertugas di KABAB ini semuanya bernama Jack dan Daniel. Kau akan sulit membedakan tampang mereka semua. Untuk memudahkan membedakan antara Jack dan Daniel satu dan Jack dan Daniel yang lain, Tuhan membikin kartu identitas dengan nomor seri yang juga menandakan mereka sedang berdinas. Kendati demikian, antara Jack dan Daniel, penampilan mereka kentara sekali perbedaannya. Mereka kembar identik, kau akan tahu itu dari bangkai tubuhya dan raut wajahnya. Namun ekspresi mereka sama sekali berlainan. Dengan setelan akuntan bank dan rambut klimis belah pinggir, Daniel memiliki penampakan yang ramah dan hangat. Sebaliknya, dengan stelan jaket kulit bergambar tengkorak yang dibordir rapi dengan tulisan “JAHAT” motif darah meleleh dan celana pensil yang melekat di kaki dan model rambut kepala suku dengan tampang dekil menjadikan Jack tampak tak menyenangkan. Ia memiliki kebiasaan berbicara dengan nada kesal dan ketus dan serak seakan pita suaranya telah rusak akibat kecanduan alkohol. Meskipun adalah rekanan yang selalu bersama, Jack dan Daniel tak begitu sering bercakap-cakap satu sama lain selain menyangkut masalah pekerjaan dan tetek-bengeknya.

Pada mulanya Tuhan menciptakan manusia menjadi dua golongan yang kentara, yaitu orang baik dan orang jahat. Keberadaan mereka tak dapat tertukar sebab mereka sudah terlahir menjadi jahat saja atau baik saja. Ini menyebabkan pekerjaan Jack dan Daniel menjadi mudah karena mereka tidak akan pernah menemukan kerancuan dalam mencatat. Hingga Jack maupun Daniel sangat menyenangi pekerjaan mereka dan timbul semacam gairah.

Dahulu kala, ribuan tahun sebelum masehi, terdapat seorang raja lalim bernama Amara yang menguasai negeri bernama Nil. Jahat adalah nama tengah Amara dalam pengertian harfiah: Amara Jahat Sackhalee. Berbuat buruk adalah bakatnya semenjak lahir—Amara dilahirkan dengan pendarahan yang menyebabkan ibunya meninggal tepat setelah melahirkannya. Sebelum dewasa, ia telah menusuk punggung ayahnya dari belakang. Namun karena masih berumur sepuluh tahun KABAB belum bisa menugaskan sepasang karyawannya. Berita itu sungguh gempar hingga terdengar ke negeri Langit. Para Jack yang masih menganggur jadi gemas untuk segera mengintili Amara. Itu menyebabkan para Jack semakin rajin belajar untuk melahap seluruhnya isi Kitab Pasal Kejahatan agar salah seorang dari mereka lulus tes wawancara kerja—persaingan tes wawancara ini biasanya berlangsung ketat tergantung dari seberapa jahat manusia yang ditugasi untuk diikuti. Para Daniel juga tak mau kalah. Mereka juga belajar Kitab Pasal Kebaikan yang tebalnya tak sampai setengahnya KPK yang digenggam Jack. Para Calon Daniel berharap setidaknya Amara masih menyisakan setitik hati nurani.

Tibalah Amara menjadi dewasa yang tepat pada saat penitahan dirinya sebagai Rajadiraja Kerajaan Nil. Jack dan Daniel yang lolos wawancara kerja langsung menghadiri upacara yang berlangsung akbar tersebut—Jack dan Daniel masih dalam keadaan senang karena baru mendapatkan kartu identitas merekaJack #666 dan Daniel #777. Saat ritual penyerahan mahkota, Amara langsung melontarkan diktum kekuasaannya di depan ratusan ribu warganya. Ia berkata:

“Aku bukanlah Rajamu. Melainkan Tuhanmu!” Dengan suara tinggi dan pose yang congkak. Dagunya disejajarkannya dengan langit. “Akulah yang Maha menentukan kehidupan dan kematian kalian!” Lanjutnya dengan semakin meninggikan dagu.

Lalu ratusan ribu penduduk negeri itu langsung tersujud di hadapan singgasana Amara dengan lutut yang gemetaran. Seketika itu juga Jack melompat kegirangan dan berteriak “Yahoo!”. Pekerjaan pertamanya sudah dirasakannya begitu menyenangkan. Jack ingat betul pada pasal berapa dan ayat berapa pernyataan Amara itu tertera di KPK. Itu adalah pasal yang paling berat yang membuat Jack girang bukan kepalang menuliskannya di dalam Catatan Amal Jahat Amara yang setebal buku direktori telepon. Sambil menggoreskan tinta di lembar pertama CAJ, dengan menggoda, Jack mengedipkan mata kepada Daniel. Daniel hanya bisa melengos pelan.

Tak sesuai dengan perkataannya sewaktu pengambilan sumpah mahkota, Amara lebih banyak menentukan kematian warganya dibanding kehidupan. Hari pertama penugasannya sebagai raja, Amara langsung mencanangkan 100 hari program kerja yang hanya punya satu rencana. Adalah membangun patung raksasa selfie dirinya sendiri di pusat kota. Demi tercapainya program tersebut ia mengerahkan seluruh penduduknya tanpa terkecuali. Tak tanggung-tanggung, ratusan mandor dikerahkan demi tercapainya target tepat waktu. “Cambuk budak yang malas bekerja!” titah Amara kepada mandor-mandornya. Sebab tak diberi makan dan minum ratusan penduduk mati pada minggu pertama pengerjaan fondasi patung raksasa tersebut. Saban hari para mandor sibuk melecuti penduduk yang kehilangan tenaga saat bekerja. Kau akan bisa mendengar suara cambuk yang menampar kulit menggema di seisi situs pengerjaan patung. Melihat jumlah budaknya yang berkurang seiring waktu, Amara menitahkan ribuan hulubalangnya untuk menyerang negeri tetangga demi tersedianya pasokan budak. Di luar program 100 hari pembangunan patung raksasanya, Amara memiliki hobi kecil-kecilan, yaitu memanah setiap bayi lelaki yang dianggapnya sebagai cikal bakal nabi. Toh, dengan prasangkanya, setiap bayi lelaki yang lahir di negerinya selalu dituduhnya sebagai cikal-bakal nabi—Amara akan mengikat bayi-bayi itu di papan sasaran lalu memanahnya dari jarak seratus depa.

Begitulah Amara menjalankan pemerintahan kerajaannya yang membuat Jack begitu sibuk mencatat. Baru minggu pertama Amara berkuasa, Jack telah hampir menghabiskan seluruh halaman CAJ yang setebal Yellow Pages itu. Untuk menanggulangi kehabisan kertas ia telah memesan buku baru kepada KABAB bagian penyediaan perlengkapan. Daniel yang sedang membersihkan debu yang menempel di kukunya memerhatikan Jack yang sedang sibuk mencatat sambil tersenyum. Senyum yang menyebalkan.

“Tak adakah yang bisa kukerjakan?” kata Daniel lalu menguap.

“Kalau begitu, bisakah kau pijat pundakku sedikit. Aku belum berhenti mencatat semenjak tugas pertamaku. Bahkan untuk merenggangkan badan saja aku tak sempat,” kata Jack masih sambil mencatat. Tangan kirinya yang menganggur memukul-mukul ringan pundak di atas lengan kanannya.

“Sialan kau! Itu tak ada dalam job desk-ku.”

“Kalau begitu, kau bisa mencoba membisikkan Amara untuk menghentikan perbuatannya?” goda Jack nakal. Lalu ia tertawa dengan keras. Tawa yang sungguh menyebalkan.

Daniel jengkel dengan tawa rekan kerjanya tersebut lantas menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Rambutnya yang tadinya klimis itu seketika kusut dan Daniel langsung mengambil cermin genggam dan sisir kecil gigi rapat yang selalu tersimpan di kantong kiri celananya.

“Aku sudah mencobanya kemarin,” ujarnya sambil menyisirkan rambutnya yang kusut yang terpantul di dalam cermin genggam.” Hatinya begitu busuk hingga meneteskan nanah.”

Begitulah hingga puluhan tahun kemudian Amara tertimpa patungnya sendiri oleh seorang baik yang katanya nabi. Jack telah menghabiskan ratusan jilid CAJ yang membuat tangan kanannya kekar sedangkan tangan kirinya terlihat rapuh. Daniel hanya sibuk bersolek yang membuat kulitnya tampak bercahaya (Itukah yang membuat malaikat katanya jadi bercahaya?). Beberapa kali ia mengajukan surat resign kepada KABAB Divisi Sumber Daya. Namun KABAB DSD selalu menolak dengan dalih telah terikat kontrak untuk menempel Amara (meskipun Amara tak pernah berbuat suatu kebaikan seberkas pun).

Mulia

Untuk mengetahui setiap bayi lelaki yang lahir di negerinya, Amara mengerahkan seratus petugasnya ke setiap sudut Nil untuk mendata apakah sedang ada wanita hamil atau melahirkan bayi laki-laki. Jika jawabannya adalah ada, petugas sensus yang disebar tersebut tak lantas mengambil bayi dari ibunya. Itu bagian lain yang dikerjakan oleh prajurit paling rendah di kerajaan. Saban hari, para prajurit rendahan itu membawa (merenggut) tak kurang dari dua puluh bayi. Para prajurit rendahan harus melakukannya sebelum subuh merekah sebab Amara memiliki kebiasaan untuk memanah selepas berkuda yang rutin ia lakukan di pagi hari. Setelah para bayi tersebut sampai di halaman khusus memanah kerajaan, seorang jongos kerajaan ditugaskan untuk mengikat berjajaran para bayi yang sedang menangis—karena membutuhkan susu—pada papan sasaran panah. Amara yang baru saja turun dari olahraga berkudanya lantas menghempaskan diri di singgasana yang berada tepat seratus depa dari sasaran tembak. Ia akan menata napasnya perlahan lalu mengambil sebuah apel hijau yang telah tersedia di meja di sebelah singgasananya. Sambil melakukan gigitan pertama yang berderai ia akan memandang bayi-bayi merah yang menangis dengan mata dingin dan ia semakin nafsu untuk menghabiskan apel hijau di genggamannya dengan segera.

Setelah cemilan paginya selesai Amara langsung menjentikkan jarinya lalu seorang ajudan datang menyerahkan sebuah busur dan anak panah. Amara akan berdiri dan meletakkan anak panah tersebut di tengah di sela-sela busur lalu menariknya merenggang hingga tali busur itu tak lagi bisa ditarik dan memasang kuda-kuda memanah kehadapan dan ia akan memicingkan matanya perlahan. Selagi kokoh dalam kuda-kudanya dengan mata terpicing ia mendengarkan tangisan para bayi yang terlentang di depan papan sasaran. Telinga Amara secara alami mendengarkan tangisan bayi yang paling keras karena menurut salah seorang penasihatnya yang juga penyihir, benih nabi bersemayam pada tangisan bayi yang paling lantang dan keras. Kenyataannya seluruh bayi yang diikat tersebut menangis dengan lantang dan keras dan amat sulit bagi telinga awam untuk membedakan suara mana yang paling keras. Seolah-olah dengan mudah mengetahui perbedaan keras suara bayi-bayi malang tersebut kedua lengan Amara yang telah bersiap melesatkan anak panahnya bergerak perlahan menuju tangis yang menurutnya paling lantang (lebih sering Amara melakukannya secara acak apalagi kalau ternyata suasana hatinya sedang tidak baik—sangat jarang Amara memiliki suasana hati yang baik). Dan Amara pun melakukannya seperti sedang menepuk nyamuk yang menempel di tubuhnya.

Begitulah, Amara memberlakukan bayi-bayi di negerinya sebagai properti dari olahraga resmi kerajaan. Semakin keras tangisan bayi dalam mimpinya semakin bersemangatlah ia memanah di pagi harinya. Namun demikian, meskipun Amara mengaku Tuhan, pengetahuannya taklah sedetail pengetahuan Tuhan. Istri salah seorang petugas sensus bayinya diam-diam melahirkan dan petugas sensus yang bernama Hajat ini begitu mencintai anak pertamanya seketika bayi lelaki tampan mungil itu mengeluarkan tangisan pertamanya. Anak ini tak boleh diserahkan kepada Raja, kata Hajat dalam hati sambil menggendong anaknya tersebut. Ia menjadi cemas kalau-kalau ada seseorang yang mendengar tangisan seorang bayi lelaki yang belum bernama itu. Suaranya begitu keras yang membuat sepasang orang tua baru itu menjadi panik dan bingung bagaimana harus menyembunyikannya dan lima menit kemudian tepat pada saat bayi tampan itu menggantungkan mulut mungilnya pada pucuk payudara ibunya yang merekah ia tak lagi menangis dan setelahnya dengan ajaib ia tak pernah lagi menangis. Keberadaan bayi tersebut tak diketahui siapa pun. Ia menjadi rahasia alam semesta.

Jika Amara terlahirkan menjadi separuh iblis maka bayi tersebut terlahirkan menjadi separuh malaikat. Hajat memberinya nama Mulia. Tangis kerasnya yang tak lebih dari lima menit itu ternyata terdengar sampai ke langit dan membuat para calon Daniel kegirangan. Sepanjang masa, beberapa tangisan bayi memang sampai ke langit sebab tangisan mereka begitu khas. Para Daniel mendengarnya persis seperti bunyi sangsakala balabantuan perang, seisi langit tahu suara itu adalah kabar baik dari bumi. Alamnya para manusia. Belum lagi beranjak dewasa Mulia telah melakukan perbuatan baik dengan cara memberi seekor anak kucing kelaparan sepotong ikan kering dan para Daniel yang mengetahuinya langsung berkata: “Ooo, so sweet!” sambil menakupkan tangan mereka di dada dan mata yang berbinar-binar. Mereka pun menjadi giat belajar untuk tak hanya menghapal Kitab Pasal Amal Baik tetapi juga memahaminya sampai kepada maknanya yang paling dalam.

Mulia tumbuh pada keluarga yang tinggal paling sudut dari Negeri Nil. Ia tak perlu keluar rumah sebab ia telah memiliki ibu sekaligus guru yang terbaik dari masanya. Saban malam sang ibu akan mendongenginya kisah seribu satu malam yang sarat makna dan tidak menggurui. Di atas ranjang, Mulia mendengarkan suara ibunya mendongeng dengan pancaran imajinasi yang tumpah ke seluruh sudut kamarnya. Kamar yang gelap dan minim penerangan itu langsung penuh warna. Mulia tumbuh menjadi seorang remaja sebelum ia mengetahui kenyataan sebenarnya yang terjadi di negeri kelahirannya tersebut.

Suatu pagi sebuah kegaduhan terjadi dan Mulia tersentak bangun dari tidurnya. Mulia yang belum lagi sadar apa yang terjadi meraba-raba datangnya suara; perabotan dibanting dan pecah suara jeritan wanita dan tangisan bayi yang pecah. Ia bergegas keluar rumah dan pagi yang belum begitu terang itu telah ramai oleh kerumunan yang berkumpul di depan rumah Juriah tetangganya. “Masuklah, Nak! Tak usah hiraukan kegaduhan itu.” Kata suara ibunya yang datang dari dalam rumah. Namun peristiwa itu begitu hebat di mata Mulia yang tumbuh dengan dongeng Seribu Satu Malam sehingga suara ibunya itu tak terdengar. Melangkahlah ia untuk bergabung bersama keramaian. Wajah-wajah yang muram. Dua hingga tiga orang wanita paruh baya tersedu menonton kegaduhan itu. Kepala Mulia dipenuhi tanda tanya yang menyesak. “Apa yang terjadi?” tanyanya kepada seorang wanita yang terisak. “bayi laki-laki malang itu telah dipilih,” jawab wanita itu dan isaknya pecah menjadi tangisan yang sedu sedan. “Dipilih apa?” tanya Mulia kembali namun wanita yang sedang sedu sedan itu tak menjawab lalu seorang bapak yang berada disebalahnya lantas menyahut:

“Dipilih Raja untuk dijadikan sasaran olahraga panahnya.”

Peristiwa suram tadi pagi begitu membekas di benak dan hati Mulia. Siang hari di atas ranjang, Mulia terkulai lemas sambil memandangi langit-langit. Di luar jendela yang terbuka, dari kejauhan ia dapat melihat sebuah patung raksasa besar yang menjulang megah. Bahkan Mulia melihat patung tersebut seakan congkak sebab tingginya yang mencapai langit. Pemandangan dari luar jendela itu bukanlah pertama kali dilihatnya. Sebelumnya ia pernah bertanya kepada ibunya apa itu dan ibunya menjawab itu adalah patung raja kita. Waktu itu ia masih berumur tujuh tahun dan Mulia memandangnya dengan takjub. Namun tidak sekarang. Nuansa yang dihadirkan oleh patung tersebut setelah peristiwa tadi pagi menjadi begitu berbeda sama sekali. Ia pun ngeri dan menutup jendela itu rapat-rapat lalu kembali rebah. Aku harus melakukan sesuatu, batinnya. Tuhan, ada kah kau mendengar?

“Cih, menggelikan,” kata sebuah suara yang datang dari sudut kamar tempat Mulia terbaring memandangi langit-langit. Mulia tak mendengarnya. Jack meludah ke lantai dan menginjak-injaknya. Sedang Daniel dengan wajah sumeringah menggoreskan tintanya dengan gemulai di atas permukaan kertas. Kertas pertama dari Catatan Amal Baik Mulia. Ini adalah hari pertama Jack dan Daniel bertugas. Mereka telah menguntit Mulia dari sejak pagi hari ketika peristiwa itu terjadi.

“Sepertinya ini akan menjadi awal yang menyenangkan,” ujar Daniel setelah ia selesai mencatat niat yang terpatri di dalam hati Mulia.

“Suka-suka kamulah,” ketus Jack lalu ia kembali meludah. Sepertinya Jack tak akan pernah kekeringan air liur.

Keesokan harinya, Mulia terbangun dengan potongan mimpi yang masih melekat di benaknya. Seorang tua berjubah putih, berjanggut dan berambut putih mengetuk pintu rumahnya. Mulia membukanya dan mendapati seorang pria tua yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Mungkin pak tua ini datang dari negeri jauh, pikir Mulia. Pria tua itu berkata dengan suara yang dalam dan berat, pergilah dari negeri ini. Berjalanlah ke arah timur hingga kau menemukan Hutan. Dan tiba-tiba bapak tua itu menjelma menjadi seorang bayi berwarna merah yang menangis lalu bayi itu menggandakan dirinya menjadi puluhan lalu ribuan lalu jutaan yang pada akhirnya membentuk sebuah patung raksasa yang tingginya mencapai langit. Patung itu bergerak seakan hendak merobek langit dengan panahnya. Dan ketika itulah Mulia terbangun. Keringat menderas di sekujur tubuhnya.

Pagi itu ia berangkat hanya dengan membawa bekal seadanya; dua bongkah roti dan beberapa helai pakaian ganti. Ia mengecup dahi ibunya yang masih terlelap dan berkata lirih, selamat tinggal ibu. Aku akan merindukan dongeng-dongengmu. Seperti biasa, pagi itu pun ayahnya tak ada di rumah—ia berdinas di pagi buta untuk menjalankan tugas kerajaan. Mulia melangkah menjauhi rumahnya dan di sebelah kanannya dengan wajah berseri-seri Daniel mengikutinya lalu berkata; “Baru niat saja aku tetap akan mencatat amal baikmu. Karena itu tertera pada ayat pertama pasal pertama Kitab Amal Baik,” dan mengambil CAB Mulia sambil berjalan. Beberapa langkah di belakang Jack mengikuti mereka masih dengan wajah ketus dan ia pun kembali meludah ke tanah.

Tepat sebelum mereka melangkah melalui gerbang, seorang gadis bertudung melintas di depan Mulia. Gadis itu tersenyum kepada Mulia, senyum yang menggantung indah seperti ketika ia melihat bulan sabit di malam penuh bintang.

“Hei, lihatlah gadis itu. Alamak senyumnya enggak nahan. Lihatlah pinggul dan buah dada yang tersembunyi di baju kurungnya. Bukankah menerbitkan air liurmu? Maka hentikanlah perjalanan ini dan rayulah gadis itu untuk tidur denganmu malam ini,” bisik Jack di telinga kiri Mulia. Sebenarnya lebih tepat disebut berteriak memekakkan telinga dan Mulia pun terhenti sesaat memandangi gadis itu berlalu melenggak-lenggok memamerkan keindahan tubuhnya yang tersaput sutra itu. Di telinga kirinya Mulia seperti mendengar desau lalat yang cerewet. Ia pun mengibaskan desau langau itu dan memantapkan dirinya melangkah keluar gerbang menjauhi Kota Nil. Daniel tergelak dengan riang. 

“Percuma Jack. Tidak kah kau lihat betapa terangnya hati pemuda ini.” Jack pun cepat-cepat mengambil kaca mata hitam yang terselip di jaket kulitnya, alih-alih melindungi mata dari sinar matahari yang terik Jack tak tahan melihat pancaran benderang hati Mulia.

Mulia melangkah ke arah timur untuk menjawab panggilan mimpi yang didapatnya, meninggalkan ibunya, meninggalkan seorang gadis yang mungkin saja jodohnya. Mungkin bapak tua itu sedang menungguku di kedalaman Hutan sana, pikirnya. Dan benar saja, setelah tujuh hari tujuh malam tak berhenti melangkahkan kakinya Mulia langsung bertemu dengan bapak tua itu pada tidur pertamanya setelah perjalanan yang melelahkan. Wajah bapak tua itu tampak lebih hangat dan lebih sejuk dari sebelumnya, ia bertengger menyilangkan kaki bertumpu pada tongkat kayu dengan latar air terjun yang menderu. Bapak tua itu lalu tersenyum kepada Mulia dan berkata:

“Selamat datang, Nak. Di Hutan ini aku akan mendongengimu selama seribu satu malam lamanya. Kau tak dapat bertemu denganku kecuali di dalam mimpi. Aku akan mendongengimu tentang kisah epik sebuah kepahlawanan, pengorbanan dan kerja keras. Pada mimpimu yang kelima ratus aku akan menghadiahimu sebuah buku sihir berjudul “Mahir Sihir Dalam 500 Hari” karanganku sendiri sesungguhnya. Sebab kau hanya bisa bertemuku di dalam mimpi, pada terang hari kau mesti melatih dirimu untuk sebuah pertempuran terakhir. Sekali lagi aku mengucapkan selamat datang. Dan selamat belajar dan bekerja keras. Hei, aku tak akan memberi ilmuku ini dengan cuma-cuma.”

Begitulah, pertemuan pertama Mulia dengan pak tua berjanggut putih. Mulai hari ini Hutan tak bernama itu akan menjadi bangku sekolahnya dan tepat 1001 hari ia belajar di sekolah alam itu untuk menyiapkan dirinya pada sebuah pertarungan terakhir seusai perkataan si pak tua di dalam mimpi pertamanya di Hutan.

Setelah beberapa hari hidup di dalam Hutan, Mulia sadar betul, tak ada suatu hal yang diraih dengan mudah. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti urusan perut. Hampir empat hari lamanya ia kelaparan di hutan sebab tak satu pun sesuatu yang masuk ke dalam genggamannya untuk di makan. Hutan itu taklah sepi, jika memejamkan mata, ia dapat merasakan sebuah kehidupan yang ramai di dalamnya, sebuah koloni, sebuah komunitas yang lebih luas dibanding masyarakat Negeri Nil tempat ia tumbuh dulu, suara berbagai bentuk burung, suara berbagai bentuk binatang berkaki empat, kecibak ikan yang berkejaran, gemerisik daun mati di atas permukaan tanah. Mulia tahu itu, selagi ada kehidupan maka di situ juga ada sumber makanan. Dan setelah membuka mata dan berjalan tak kurang dari tujuh jam mengelilingi hutan, tak ada roti yang ditemuinya. “Aku ingin roti!” teriaknya lantang, beberapa saat kemudian terdengar suara burung yang tertawa.

Mulia coba mengejar anak rusa yang ditemukannya, namun rusa itu justru berhasil mempecundanginya dengan gerakan kaki yang lincah dan gemulai. Lalu ia menceburkan diri ke dalam sungai dekat air terjun namun ikan-ikan tersebut justru bergerak lebih lincah dibanding tangannya. Selama empat hari ia melakukan hal tersebut dan nyaris putus asa, akhirnya ia putar otaknya bagaimana mendapatkan ikan atau rusa atau apa pun yang sekiranya dapat dimakannya. Mulia bukan berarti tak pernah mencoba memakan tumbuhan, berbagai macam daun-daunan dan akar-akaran dan batang-batangan coba dikunyahnya namun seketika itu pula perutnya menolak dan langsung memuntahkan makanan herbal itu kembali keluar. Beberapa tumbuhan dan buah-buahan berhasil cocok juga dengan perutnya, tak jarang satu atau dua buah-buahan dan daun yang ia tak tahu namanya begitu enak dan ia menjadi sangat lahap memakannnya. Tapi memakan yang berasal dari tumbuhan saja taklah cukup untuk memuaskan kelaparannya. Ia membutuhkan daging, rusa, burung, ikan atau apalah. Dan dengan susah payah dan menempuh berbagai macam metode yang gagal pada minggu kedua akhirnya ia berhasil menjebak seekor anak rusa. Dan ya Tuhan, dagingnya sungguh enak sekali setelah diasap dan keringkan.

Begitulah Mulia berhasil bertahan hidup selama seribu satu malam dan hari di dalam Hutan tak bernama. Di malam hari, Mulia belajar kesusastraan, keindahan, kemanusiaan, dan keesaan Tuhan melalui dongeng pak tua yang diceritakan lewat mimpi. Di siang harinya ia menjalani kehidupan sebaliknya, keras layaknya hulubalang. Ia tak hanya berburu untuk bertahan hidup, namun juga melatih fisik, mental dan pikirannya. Setelah seratus hari ia berada dalam Hutan, ternyata ia menyadari, banyak hal yang bisa ia manfaatkan di dalamnya. Alam telah menyediakan segalanya untuk kepentingan manusia, batinnya suatu malam sebelum tertidur.

Lima ratus hari dan lima ratus malam berhasil dilaluinya dengan begitu banyak pengalaman baru dan pengetahuan baru. Untuk mencapai pertengahan masa belajar di dalam Hutan, ia tak melewatinya dengan mudah, beberapa kali ia diserang rasa sepi yang hebat, rasa putus asa yang mengaburkan pandangannya ke masa depan. Namun ia sadar, ia harus menaklukkan rasa yang telah menghantui manusia sejak zaman purbawi itu sebab sesuatu yang zalim bergerak lebih besar dan semena-mena. Darahnya menderas begitu kencang seketika mengingat pagi buta yang muram itu. Mulia terbangun dan menemukan sebuah buku tebal dengan judul “Menguasai Sihir dalam 500 Hari” dan di bawah judul tersebut terdapat inisial yang sepertinya pengarang buku itu “HR”. Bapak tua itu pernah menyebutkan di dalam mimpinya tepat pada hari ke 500 ia akan menghadiahinya panduan praktis sihir. Dan Mulia yakin inilah bukunya. Ia lalu terduduk dan menggenggam buku tersebut dengan kedua tangannya. Ada semacam rasa antusias menjalari kulitnya dan tak sabar lantas dibukanya buku tersebut pada halaman pertama.

“Lah, kok kosong. Ini juga kosong. Semuanya kosong. Apa maksud si pak tua itu?”

Pada malam harinya, di dalam mimpi, pak tua tak menyinggung mengenai kitab sihirnya yang polos di seluruh halaman. Di ujung kalimat terakhir dongeng pak tua, Mulia bertanya mengenai kitab sihir yang didapatnya. Tapi pak tua hanya menjawab: Kau harus menemukannya sendiri. Di dalam tidurnya Mulia menggaruk-garuk kepala karena tidak paham.

Dalam satu tahun, penduduk kota Nil tahu, hujan turun tak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki mereka. Dan jika sedang turun pun butirannya tak lebih besar dari biji gandum. Tapi hari itu hujan tidak akan turun seperti biasanya. Setelah lima bulan hujan tak turun, ia mulai jatuh dengan intensitas gerimis seperti biasa ia turun. Dan anak-anak perempuan (kau tak akan dapat menemukan anak laki-laki di kota ini) berhamburan ke jalan-jalan untuk menyambut berkah tersebut. Mereka berloncatan kegirangan. Ibu-ibu mengeluarkan ember atau apa pun yang dipunyanya untuk menampung air hujan yang jatuh. Tapi hari itu langit menjadi lebih gelap dan pekat dibanding biasanya. Sebuah petir yang bercabang-cabang turun lalu menyentuh patung raksasa Amara yang terletak di tengah kota dan disusul bunyi guntur yang memecah udara. Anak-anak perempuan yang tadinya bermain hujan langsung berhamburan menuju rumah mereka. Hujan turun lebih lebat dari biasanya. Ukuran bulirnya bisa sebesar kelereng sehingga menimbulkan bunyi gemeretak ketika menabrak atap. Trak tak tak tak. Dari dalam rumah, hujan lebat sebesar kelereng tersebut terdengar seperti hujan batu. Penduduk Negeri Nil langsung menyembunyikan dirinya di balik selimut.

Dari arah selatan, seorang pria dengan baju kurung dan kupluk yang menutupi wajah dan tangan kanan yang menggenggam tongkat kayu berjalan menembus hujan badai itu. Ia tak basah sama sekali. Bulir hujan sebesar kelereng itu tak menyentuh permukaan tubuhnya. Badannya tegap, bahunya lebar dan ia berjalan mantap ke arah Istana.

“Amara!” teriak Mulia di depan gerbang Istana Kerajaan Nil. Dan seketika itu pula seruas petir yang bercabang-cabang kembali melesat ke bawah menjilati patung raksasa Amara dan suara guntur menggelegar mencabik langit.

Amara yang sedang bersetubuh bersama tiga orang permaisyurinya langsung bergeming mendengar suara teriakan itu dan guntur yang menyusul setelahnya. Ia tergesa-gesa mengenakan pakaian lalu menyarungkan jubah perangnya, ia juga mengambil busur dan anak panah yang dipajang di dinding kamar. Amara lantas bergegas menuju ruang bola untuk melihat apa yang terjadi di luar. Hatinya berdebar-debar hebat. Tak pernah ia merasakan gemetar yang begitu dahsyat seperti sekarang ini.

Sesampainya ia diruang bola ia tersentak kaget, puluhan tubuh hulubalangnya berserak dan bertumpuk di setiap sudut ruangan yang besar itu dan kilat menyambar-nyambar dari arah luar. Dari jarak yang tak begitu jauh ia menyaksikan dua orang penyihirnya terpental. Kakinya semakin bergetar hebat. Ia melihat seorang pria dengan wajah yang dipenuhi janggut hitam. Setelah dua orang penyihirnya terpental dan tak sadarkan diri, di ruangan itu hanya tinggal ia dan pria berjanggut hitam yang menggenggam tongkat. Pria itu memandangnya dengan tajam. Sebuah tatapan mata yang sanggup mencabik tubuh hingga menjadi dua buah bagian. Dengan tergesa-gesa ia mengambil anak panah yang tersampir di punggungnya dan dengan busur yang sudah meregang ia arahkan ke kepala pria berjanggut hitam yang berjalan perlahan mendekatinya.

“Amara! Jika kau memang Tuhan. Coba hentikan takdir kematianmu!”

Anak panah itu melesat lima jengkal di sebelah kanan kepala Mulia. Amara terlalu gegabah melepaskan anak panahnya sesaat suara yang penuh ancaman itu menyergapnya. Mulia tetap berjalan perlahan mendekatinya dan lima langkah lagi, Amara tergopoh-gopoh melarikan diri menjauhi ruangan tersebut. Ajudan, ajudan, teriaknya. Pelayan, pelayan. Bangsat, tidak adakah orang di sini. Amara melihat setiap lorong dan ruang di kerajaan itu tak terdapat siapa pun. Tak ditemuinya lagi orang-orang yang dulu tertunduk dan mematuhi perintahnya layaknya perintah Tuhan. Amara diserang kesepian yang begitu hebat. Dan ia pun langsung lari menuju barak tempat kudanya dikandangkan. Di dalam barak itu, kuda hitamnya bergerak resah dan meringkik-ringkik seperti hendak melepaskan tali kekangnya. Amara langsung meraih kudanya dan melepaskan tali kekangnya. Di atas kuda ia melesat menuju luar halaman taman kerajaan, menembus hujan. Amara merasakan bukan air yang menghujaninya melainkan batu kerikil, ia merasakan kesakitan yang hebat dalam menembus hujan badai tersebut dan kuda hitamnya tak berlari seperti biasanya, tampak sekali kuda itu depresi menembus dera hujan yang mencambuk-cambuk tubuhnya. Di belakang, Amara melihat sesosok tubuh yang telah memporak-porandakkan kerajaannya berlari mengejarnya. Ia panik dan semakin menghentakkan kakinya ke tubuh kuda untuk memaksanya melesat semakin kencang. Petir dan kilat dan guntur menyambar susul menyusul dengan frekuensi yang lebih intens. Permukaan patung raksasa Amara tampak berkilat-kilat oleh cahaya apinya. Amara kembali menengok ke belakang dan betapa lega hatinya tak ditemukannya pria berjanggut yang menakutkan itu. Ia kembali menghentakkan kudanya ke arah utara melewati patung raksasa dirinya yang sedang dijilat-jilat petir. Seketika itu pula terdengar suara patahan batu yang menggema dari arah punggungnya. Krak. Dan suara patahan batu itu susul menyusul seperti suara tanah yang merekah akibat gempa bumi. Sebab suaranya semakin besar ia menoleh ke belakang dan kagetlah ia melihat patung raksasa dirinya yang roboh perlahan. Amara tak dapat memprediksi kemana arah jatuhnya patung tersebut namun ia khawatir patung itu bisa menimpa dirinya. Ia semakin gencar melecut kudanya untuk berlari semakin kencang, kalau perlu bahkan butirin air yang seperti kerikil ini tak dapat menyentuh tubuhnya. Kuda Amara melesat ke arah gerbang utara menahan rasa sakit rundungan hujan. Gerbang telah tampak dua pelemparan batu di hadapan matanya yang membikinnya semakin bernafsu untuk meninggalkan kota laknat itu.

“Ha-ha-ha. Tak ada yang dapat membunuhku. Bahkan tuhan sekali pun.”

Amara berteriak pongah saat dirinya hampir mencapai gerbang dan tepat tiga jengkal di hadapan gerbang, kuda hitamnya terjatuh dan tersungkur dan berdebam dengan keras ke permukaan tanah. Kuda sialan, hujat Amara yang terhimpit kudanya yang tak tahan lagi berlari sebab terus di dera hujan seperti kerikil yang dahsyat. Tapi karena kaki Amara terhimpit kuda ia menjadi tak bisa lepas dari kudanya. Susah payah ditariknya kaki kirinya yang terhimpit namun tak juga dapat lepas dari tubuh kuda hitam besar yang sekarat tersebut.

Seketika itu pula ia tersadar akan Patung Raksasa dirinya yang patah dan terjatuh dan ia pun melihat ke arah pusat kota. Patung itu hendak jatuh ke arahnya. Dengan mata yang liar dipenuhi kengerian dan bayangan akan maut ia melihat sebuah batu raksasa jatuh dari langit. Bahkan Amara tak sempat untuk berteriak. Patung raksasa itu jatuh berdebam menimbulkan suara yang dahsyat dan menimpa dirinya yang terkesima melihat potret dirinya sendiri yang pernah mencoba meraih langit.

Budi

“Ngarang sekali cerita ini. Apa itu Jack dan Daniel? Mana ada malaikat seperti itu. Fiksi ini hanyalah karangan seorang penganggur yang banyak bermimpi di siang bolong,” tukas Budi lalu melempar buku tipis yang berjudul Jack dan Daniel itu ke sudut kamar. Hari ini sabtu dan nanti malam ia ada kencan dengan kekasihnya, Bunga. Ia tak sabar untuk berkencan dengan kekasihnya itu dan setelahnya mereka akan bercinta puluhan ronde karena bunga baru saja melalui masa menstruasinya. Di atas ranjang yang kusut, Budi menutup matanya dan membayangkan aksi percintaan mereka yang penuh letupan gairah. Mereka sangat menikmati persetubuhan itu seperti mereka menikmati makan nasi padang sekali sehari. Dan Budi pun tertidur sudah dengan alarm yang telah ia setel untuk berdering pukul lima sore di Blackbarry-nya.

“Tidak dengarkah kau bocah ini mengejek kita?” kata sebuah suara dari sudut kamar. Suara itu milik Jack yang sedang berjongkok dan menikmati menggali lobang hidungnya.

“Ya. Aku mendengarnya. Dan anak ini pikir kita ini tokoh fiktif,” balas Daniel. Daniel menyigi kuku-kuku jari-jarinya kalau-kalau ada kotoran yang nyempil. Ia tersenyum simpul kuku-kuku itu masih bersih seperti biasanya.

“Huh,” lengos Daniel. “Zaman dahulu, senior-senior kita begitu menyenangkan dalam bekerja. Mereka tak lagi repot dan bingung. Aku begitu tak paham dengan anak ini.”

“Ya, aku juga. Tapi tidakkah kau berpikir, persaingan kita berdua jadi lebih sehat sekarang. Tak ada lagi hati yang begitu gelap atau hati yang begitu terang seperti yang dimiliki manusia pada zaman dulu. Aku tak tahu apa warna hati bocah ini.”

“Itu abu-abu.”

“Bukan. Abu-abu agak kemerahjambuan”

“Tapi terkadang. Meskipun tidak sering, anak itu melakukan kebaikan yang membuatku terenyuh. Tidak ingatkah kau bulan lalu. Ia memberikan sekarung beras lima kilo kepada tukang sapu di pinggir jalan setelah ia mendonorkan darah. Ia juga rutin tiga bulan sekali untuk donor darah. Katanya ini demi kemanusian dan aku begitu senang untuk mencatat amal baiknya tersebut.”

“Kau benar. Tapi setelah itu, kau harus ingat. Ia berzinah dengan wanita yang bukan muhrimnya. Itu perbuatan laknat kawan. Tuhan mengutuk perbuatan itu. Dan bocah brengsek ini melakukannya sama sekali tanpa perasaan berdosa.”

“Tidak kawan. Ia menyesal telah melakukannya. Memang benar ia tak sadar kalau perbuatan itu adalah dosa pada saat ia melakukannya. Ia hanya merasakan sensasi nikmat yang dahsyat seperti ia merasakan terbang ke surga, dan terhempas ke neraka. Namun setelah itu, meskipun sedikit, ia merasakan bersalah dan berniat untuk tidak melakukannya lagi. Dan baru niat saja aku akan mencatatnya dalam Kitab Amal Baikku.”

“Tolol. Setelah itu ia lupa akan janjinya dan tetap melakukan perbuatan tersebut.”

“Itu karena kau yang menggodanya. Kau membisikkan perbuatan setan itu ke telinganya.”

“Tapi, itu memang tugasku. Salah sendiri kenapa hati dia tidak teguh. Kalau mau baik, baik sekalian dan kalau mau jahat, jahat sekalian. Jangan tanggung-tunggung seperti ini. Aku jadi mudah menggodanya. Ha-ha-ha

“Sudah berapa halaman yang kau habiskan, Jack?”

“Hampir dua ratus halaman. Kau?”

“Sama denganmu. Tapi aku rasa kau lebih banyak beberapa lembar. Hei, lihat bocah itu. Tidurnya seperti bayi. Kalau dalam keadaan itu ia tak tampak memiliki dosa sedikit pun.”

“Ya. Tapi kau lihat. Catatan Amal Buruknya lumayan tebal di tanganku. Dan nanti malam akan bertambah lagi karena mereka akan kembali berzina. Aku akan semakin memanas-manasinya. Hi-hi-hi.”

“Kau tak akan bisa. Aku akan mencegahnya. Aku akan membisikkannya bahwa yang dilakukannya adalah dosa dan ia pantas berhenti. Kalau perlu aku akan membisikkannya untuk langsung saja bertemu dengan orang tua si gadis dan melamarnya.”

“Coba saja. Aku berani taruhan bocah sialan ini lebih memilih menidurinya. Lalu meninggalkannya.”

“Baiklah. Mari kita buktikan, apakah kuping sebelah kiri yang didengarnya atau kuping sebelah kanan.”

Tiba-tiba Blackbarry di sebelah kepala Budi yang tertidur berdering. Alarmnya sudah menunjukkan pukul lima sore. Waktunya kencan, pikir Budi lalu tersenyum. Masih dalam keadaan setengah sadar ia menekan tuts gawainya dan mencari nomor kekasihnya.


“Halo Sayang. Sudah siap berkencan, kan? Aku akan menjemputmu.”


-Hizbul Ridho, 2014