Selasa, 27 Oktober 2015

Hati di Secangkir Latte








Steamer La Marzocco dibenamkan ke dalam dasar jak yang telah berisi susu dingin. Sebuah tangan menarik tuasnya, dan timbul suara mendecit-decit dari dalam jak tersebut. Susu dingin dalam jak itu berputar-putar mengikuti uap panas yang menyembur di dalamnya. Tidak lama kemudian, susu itu mengembang menjadi busa yang lembut. Dengan perlahan, seseorang yang mengenakan celemek hijau menuangkan susunya ke dalam cangkir yang telah berisi dua seloki espresso. Campuran susu dan espresso itu menjadi latte dengan hati di permukaannya.

“Kau semakin mahir saja membuat latte, But?” sahut sebuah suara yang duduk di konter bar, menyimak dengan saksama pembuatan latte seorang barista di kafe itu.

“Bukankah aku dulu mempelajarinya darimu, Nil?” Ribut membalas pujian teman lamanya itu dengan bertanya.

“Tentunya sekarang aku sudah lupa melakukannya. Sudah lima tahun semenjak terakhir aku menjadi barista, dan banting stir menjadi wartawan. Hei ngomong-ngomong, apakah tidak apa-apa aku mengajakmu ngobrol seperti ini saat kau sedang bekerja?”

“Kau seperti baru mengenalku. Sudah lima tahun tentunya, sekarang akulah yang memimpin kedai ini. Lagi pula partner-ku yang lain di shift ini rajin dan cekatan.”

Anil menyimak tiga orang barista mengenakan celemek hijau sedang sibuk melakukan rutinitas mereka. Seorang gadis manis sedang berdiri di belakang komputer kasir, melayani para pelanggan yang sedang mengantre. Gadis itu melayani pelanggan yang berdiri di depannya dengan senyum profesional. Di sebelah kanan gadis itu, seorang yang lain sedang mengambil beef sausage croissant dari dalam pastry case, dan meletakkannya di dalam oven. Di sebelah Ribut adalah seorang barista yang sedang membuat frappucino.

“Jadi sekarang, kau sudah menjadi manajer kedai ini?” kata Anil.

“Ya, belumlah. Sekarang semakin sulit saja untuk mendapatkan promosi. Aku masih PIC, kawan. Sudah tiga tahun,” kata Ribut melengos. “Kalau begitu, apakah kau hanya ingin bertemu denganku atau ada seseorang yang sedang kau tunggu?”

“Aku sedang menunggu seseorang.”

“Wanita?”

Yup.”

“Jangan bilang ibumu?”

“Tidak mungkinlah,” kata Anil terkekeh.

“Seseorang yang dekat pastinya. Wah, temanku yang satu ini sedang menunggu pacarnya.”

Anil terdiam sebentar, dan berkata,”nyaris. Dia memang pernah jadi pacarku. Tapi itu dulu. Sudah lama sekali. Dan sekarang kami hanya janjian bertemu sebagai mantan. Atau lebih tepatnya sahabat lama yang sudah lama ingin bertemu.”

“Alah. Kau bertele-tele. Aku tahu kau tak akan pernah merindukanku. Di sini kau hanya ingin bertemu dengannya, kan. Clebek-clebek?”

Ribut coba menirukan ikan yang berenang, mulutnya mengeluarkan gelembung-gelembung udara tak kasat mata. Anil tertawa melihat kelakar kawan lamanya itu.

Ribut kembali kepada pekerjaannya membantu seorang barista yang kerepotan membuat kopi. Sepertinya barista itu masih baru, Anil melihat dari gerakannya yang panik sebab menumpuknya kap kosong yang menunggu untuk diisi. Selagi Ribut membantu rekannya membuat kopi, Anil menyeruput latte gratis pemberian temannya itu. Bentuk hati di permukaan latte itu pun menjadi rusak. Sebuah musik instrumental yang terdengar jazzy mengalun di seisi kafe. Anil coba menerka-nerka, rasanya itu seperti Keong Racun yang diaransemen ulang menjadi jazz. Dibanding versi dangdut, ia lebih menikmati Keong Racun a la jazz ini. Ia teringat, Keong Racun versi jazz ini sering dinyanyikannya bersama mantan kekasih yang akan ditemuinya ini. Jarum-jarum jam tangannya menunjuk pukul delapan lewat lima belas. Sepertinya ia terjebak macet, pikir Anil.

“Jadi seperti apa cewek yang akan kau temui kali ini?” tanya Ribut setelah ia pikir rekan kerjanya dapat menangani pesanannya sendiri. “Dulu pun kau jarang bercerita mengenai kisah cintamu kepadaku.”

“Dia wanita yang cantik,” jawab Anil sekenanya.

“Cantik seperti apa? Spesifik dong. Kambing didandani pun bisa kau anggap cantik.”

Anil terkekeh mendengar lawakan kawannya yang garing itu.

“Ia memiliki rambut hitam sebahu dengan ujung bergelombang. Wajahnya agak oval. Hidungnya mancung dan mungil. Jika ia menatap matamu tak mungkin kau tak bergeming mengagumi keindahannya. Aku belum pernah melihat senyum seindah itu.”

Kau jadi mengkhayal dan mendeskripsikan rupa kekasih orang. Itu seperti wajah yang dimiliki kekasihku. Jangan bilang kalau kekasihku yang sekarang adalah mantanmu?”

“Tidak mungkin. Itu jelas deskripsi wanita yang akan aku temui sekarang. Memang seperti itu. Aku belum selesai.” Anil tampak bersemangat, setelah menyeruput lattenya ia melanjutkan, “tingginya kira-kira sebahuku. Tak terlalu pendek untuk ukuran wanita Indonesia dan ia jelas langsing dan padat di pinggul. Dadanya tak terlalu besar dan enak dipandang. Dan kulitnya itu But, putih dan lembut dan licin. Seekor semut bisa terpeleset kalau berjalan di kulitnya.”

Ribut tertawa.

“Mentang-mentang. Hebat betul penjelasanmu itu. Tapi untungnya deskripsimu meleset. Setidaknya hampir. Cewekku agak gemuk. Tapi justru itu yang aku suka darinya.”

“Aku tahu itu. Aku masih ingat kau pernah ditolak rekan kerja kita dulu yang beratnya hampir satu kwintal,” kata Anil cekikikan.

Lebay. Tubuhnya hanya semok dikit,” Ribut terhenti. Nil, dengar deh aransemen musik ini. Kau tahu, semua lagu ini awalnya dangdut yang dijadikan jazz. Dan kau tahu, cewekku sangat suka dangdut yang diaransemen menjadi jazzy seperti ini. Aku lupa judulnya. Apa ya judulnya?”

Keong Racun?”

“Iya. Tepat sekali. Dan kenapa kau bisa tahu?”

“Karena mantanku menyukai lagu ini dalam versi jazz-nya.”

“Ya Tuhan. Aku tak mau berpacaran dengan cewek yang pernah menjadi mantanmu. Tak mungkin cewekku itu mantanmu.”

“Aku tak tahu. Wanita yang sedang kutunggu sekarang tak pernah bercerita kalau telah memiliki pacar. Lagipula, pacarmu itu agak semok?”

Memang. Siapa pun bisa menyukai lagu apa pun. Lagipula, Keong Racun lagu yang populer.”

Setelah itu, percakapan mereka terputus. Ribut harus kembali kedalam ruang belakang menyelesaikan laporan pekerjaannya yang sempat tertunda. Nanti kita lanjutkan lagi, aku jadi semakin curiga dengan cewek yang sedang kau temui ini, kata Ribut, lalu ia bergegas menuju pintu yang berada di belakang bar. Anil berpikir mengenai kebetulan-kebetulan kemiripan mantannya itu dengan kekasih Ribut. Anil baru menjalin komunikasi kembali dengan mantannya dua minggu belakangan. Di dalam obrolan media sosial, mereka membicarakan banyak hal, dan Anil merasa kembali terhubung dengannya. Anil berniat kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya itu. Kalau pertemuan kali ini mereka menemukan kembali keterhubungan yang dulu pernah sempat membuncah, Anil berencana segera melamarnya. Anil tahu itu, kenangannya kepada Dewi tak begitu saja bisa hilang, meskipun setelah mereka berpisah, Anil sudah beberapa kali menjalin kasih dengan wanita lain. Namun ia belum pernah merasakan cinta sebesar ketika ia bersama Dewi. Dan di percakan lewat media sosial akhir-akhir ini, Dewi mengaku masih melajang. Pertemuan kali ini menjadi kesempatan bagi Anil untuk kembali menumbuhkan buncah-buncah kehangatan yang dulu pernah ia dapat dari mantan kekasihnya itu.

Anil kembali melihat jam tangannya. Dewi sudah begitu telat untuk sampai di kafe tempat mereka berjanji bertemu ini, yang kebetulan adalah kafe tempat Anil menjadi barista dulu. Adakah macet sebegini lama, pikir Anil gelisah. Mungkin saja. Kemacetan di ibu kota ini semakin absurd saja.

Sebab terlalu asyik berbicara dengan Ribut, Anil hingga lupa, seharusnya ia bisa menghubungi Dewi dengan gawainya. Ia pun menekan nomor kontak Dewi, dan menunggu suara wanita menjawab dari balik sana. Sedang di mana sekarang, kata Anil setelah terdengar kata halo seorang wanita. Sebentar lagi aku sampai, kata suara itu. Aku sudah berada di pelataran parkir dan segera menuju kesana. Maaf terlambat. Tidak apa-apa, seorang teman lama menemaniku menunggumu, kata Anil menjawab, lalu mengakhiri telepon setelah ia berkata, aku duduk di konter bar.

Anil meletakkan gawainya di atas meja, lalu menyeruput latte-nya. Ribut kembali dari pekerjaanya.

“Apa yang akan kau lakukan seandainya cewek yang akan kau temui ini adalah kekasihku?” sekonyong-konyong Ribut bertanya seperti itu dengan raut wajah serius.

“Tentunya aku akan merebutnya darimu. Kalau perlu kita bertengkar di kafe ini. Dan siapa yang menang dialah yang mendapatkannya.”

“Kau bercanda.”

“Aku bercanda.”

Anil dan Ribut pun tertawa bersama. Rasanya konyol sekali jika mereka bertengkar hanya demi seorang wanita. Tapi, Anil serius ingin melamar Dewi. Dan tanpa sepengetahuan Anil pun, Ribut telah menabung berencana melamar kekasihnya. Anil teringat, kenapa tidak dari tadi saja menyebut nama mantan kekasihnya. Betapa bodohnya diriku, katanya dalam hati sambil menepuk jidat. Ia pun mengumpat kepada Ribut atas kebodohan yang sama.

“Kalau begitu. Biar jelas. Siapa nama kekasihmu ini?”

Belum sempat Ribut menjawab, sebuah suara wanita menyahut dari belakang. Seorang wanita yang mengenakan dres berwarna putih, bermotif bunga. Wanita itu memiliki rambut panjang sebahu yang bergelung di ujungnya. Hidungnya tirus mungil. Sepasang mata dan bibir wanita itu memantulkan sisa-sisa keindahan. Wajahnya oval, dan terlalu oval kalau benar-benar dilihat, sebab dagunya terbalut lemak berlebih. Lehernya berlipat-lipat. Kulitnya memang putih mulus, namun terlalu bengkak di daerah lengan dan betisnya yang telanjang. Anil seperti melihat orang lain. Ia pangling dan menyebut nama Dewi dengan terbata. Wanita dengan tubuh besar itu tersenyum kepadanya. Ia merasa tertipu dengan foto wanita ramping yang terdapat di akun media sosial mantan kekasihnya.

“Syukurlah,” kata Ribut setelah terkesima melihat kemunculan sesosok wanita yang menyapa temannya.

Dewi mendekati bangku di sebelah Anil duduk. Ia kesulitan untuk duduk di bangku bar yang agak tinggi itu. Dewi memandangi Anil yang masih terkesima dengan kedatangannya. Ternyata, lama tak bertemu, kau sudah banyak berubah, katanya. Anil kembali menyeruput latte-nya yang telah mendingin. Tak ada lagi hati di permukaannya.

-Hizbul Ridho

Kulkas







Aku tidak tahu banyak tentang keluarga yang membeliku dan menjadikanku sebagai bagian dari mereka. Tapi aku bisa menceritakan kepadamu riwayat diriku sendiri pada saat aku diletakkan keluarga ini di sudut dapur yang tak terlalu besar, hingga delapan tahun kemudian aku dijual kembali kepada seseorang yang menumpuk benda sepertiku. Sebelum aku memulai cerita, aku ingin memberitahumu bahwa aku hanyalah sebuah kulkas.

Aku tak mengerti banyak mengenai perasaan manusia. Tentunya, karena aku adalah kulkas. Aku memandang segala kegiatan pemilikku dengan kedinginan es yang menempel di langit-langitku. Meskipun pantatku sendiri panas, bahkan menjadi sangat panas dalam keadaan tertentu. Konsep waktu aku pahami sesederhana palenteolog mengerti umur sebuah fosil atau bebatuan dari materi-materi yang dikandungnya. Begitu juga aku mengerti konsep waktu dengan mengukur karat yang ada di bokongku, serta lumut dan kuman dan bakteri yang menempel di setiap sudut dalam perutku. Tapi aku sedikit bohong mengenai tak mengerti perasaan manusia, meskipun aku memandang mereka dengan acuh tak acuh, aku bisa memahaminya dari apa saja yang mereka simpan di dalam perutku.

Aku dibeli oleh sepasang pemuda berumur 20an dari sebuah toko elektronik milik seorang pedagang Cina. Aku diletakkan oleh mereka di sudut dapur di dalam rumah yang sepertinya baru mereka tempati. Aku mengetahuinya dari cat rumah itu yang masih tampak baru, serta perabotan lain seperti ranjang, meja, sofa, televisi, vas bunga, kompor gas, dan lain-lain, bersamaan saat mereka membawaku ke rumah yang sama. Meskipun kami tinggal di rumah yang sama, tapi antara perabotan rumah, kami tak saling bicara, bahkan sekadar tegur sapa. Entahlah, aku tak tahu cara berbicara dengan mereka semua.

Padamulanya aku memiliki kondisi yang baik. Pemilikku yang sepertinya seorang wanita rajin membersihkanku setiap seminggu sekali. Pemilikku yang satunya lagi, seorang lelaki, hanya kadang-kadang saja membersihkanku. Ia lebih sering membukaku hanya untuk mencari minuman dingin. Berbicara soal minuman dingin, itu adalah satu-satunya minuman berpengawet yang terdapat di dalam perutku, sebut saja Cola, Fanta dan sejenisnya. Selebihnya perutku lebih sering diisi oleh bahan-bahan makanan segar seperti ikan, daging ayam atau daging sapi, berbagai macam sayuran seperti bayam, kangkung, sesin, rebung. Selain itu, pemilikku yang wanita juga sering meletakkan cabai, tomat, mentimun, juga buah-buahan seperti mangga, apel, jeruk, terkadang semangka atau melon. Setidaknya hingga tiga tahun aku berada di rumah ini, variasi dari bahan makanan segar itu hampir pasti selalu ada, dengan beberapa kaleng minuman dingin tentunya.

“Kau harus mulai mengurangi minuman ini, Sayang,” kata pemilikku yang wanita pada saat membuka pintuku. Wanita ini memanggil lelakinya, Sayang. “Ini tidak baik untuk kesehatanmu, pemicu diabetes dan obesitas nomor satu. Kalau kau tidak berhenti, aku bisa menjamin tiga tahun kemudian kau akan menjadi bapak berperut tambun.”

“Ambilkan saja Cola itu, Cinta,” kata sebuah suara lelaki yang bernama Sayang itu di ujung sana, kepada wanita yang dipanggilnya Cinta. “Aku akan mengangsur untuk menguranginya. Hei, setidaknya aku tidak minum bir atau sejenisnya.”

“Aku ikut lega mendengarnya. Tapi kau selalu saja bilang ingin berhenti. Setiap pulang bekerja kau langsung meminum minuman tak sehat ini. Lihatlah perutmu sekarang, sudah mulai membulat,” kata Cinta kepada Sayang sambil perlahan menutup pintuku.

Pada saat pintuku tertutup aku mendengar Sayang berkata, “Cinta, perutmu juga sudah semakin membulat sekarang.” Lalu aku melihat mereka melakukan apa yang disebut manusia sebagai berpelukan dan berciuman. Aku tak tahu bagaimana rasanya berpelukan dan berciuman. Karena aku tak bisa membayangkan melakukannya dengan sesama kulkas.

Setelah setahun berlalu, secara bertahap daging ayam, ikan atau daging sapi semakin jarang berada di perutku. Entah kenapa, Cinta semakin jarang meletakkannya. Ia menggantinya dengan bahan makanan seperti daging nugget, daging ham kalengan dan sejenisnya. “Kau tak bisa tahan hingga berminggu-minggu. Baumu busuk!” kata Cinta suatu hari saat membuka pintuku dan membuang bahan-bahan makanan yang sudah lama tak tersentuh di dalamku. “Lagian karena sekarang sering lembur, suamiku lebih sering makan di luar.”

Selain bahan-bahan makanan segar yang sudah jarang ada, di dalam perutku sekarang terdapat beberapa makanan seperti bubur atau susu bubuk yang terbungkus di dalam kotak, yang di permukaannya terdapat gambar wanita sedang menggendong seorang manusia kecil. Cinta akan buru-buru membukaku dan mengambil kotak itu saat suara seorang manusia kecil merengek terdengar dari kejauhan. Mungkin itu anggota baru keluarga ini. Cinta akan berkata, “Sebentar, Sayang. Mama akan mengambilkan susumu,” lalu menutupku.

Tiga tahun kemudian, seorang bocah manusia membuka pintuku, matanya menjelajahi isi perutku seperti sedang mencari sesuatu. Bocah ini juga disebut Sayang oleh Cinta, sama seperti yang dilakukannya kepada lelaki yang lebih besar di keluarga ini. Seorang Sayang junior.

“Mama. Di mana kau letakkan agar-agarnya?” kata Sayang junior, matanya masih memindai isi perutku.

“Coba kau cari di rak nomor dua dari atas. Di belakang kaleng-kaleng daging!” kata suara seseorang yang dipanggil anak itu Mama, sepertinya itu suara Cinta.

Sepasang mata anak itu berbinar menemukan makanan yang dicarinya, ia semringah lalu menutupku. Baiklah, sekarang di dalam perutku juga ada agar-agar, terkadang puding atau jelly. Di dalam pendinginku juga sering ada tumpukan es dalam bungkus kecil yang berwarna merah, kuning, hijau. Semenjak itu, Sayang junior sering bolak-balik kepadaku untuk mengambil makanan-makanan itu. Cinta sesekali masih memasukkan cabai dan tomat, meskipun hanya sesekali ia mengambil mereka. Sehingga seringkali, bahan-bahan makanan itu menjadi membusuk di dalam diriku. Aku ingin memberitahumu, empat tahun berlalu semenjak keberadaanku di keluarga ini, semakin jarang saja ia membersihkanku. Terkadang sebulan sekali ia sempatkan melakukannya. Tapi, lebih sering tiga bulan sampai lima bulan, ia baru ingat untuk membersihkanku, ketika dinding-dindingku sudah penuh dengan lumut yang membeku dan cairan entah apa tertumpah di sana-sini.

Pada suatu hari, tiba-tiba saja pendinginku mati. Aku merasa sudah terlalu lelah mendinginkan bahan makanan untuk bertahun-tahun. Seandainya saja Cinta rutin merawat dan membersihkanku seperti awal-awal aku berada di rumah ini, umurku mungkin bisa lebih panjang. Semua isi di dalam perutku dikeluarkan, lalu aku dibawa oleh dua orang yang tak kukenal ke sebuah tempat, tempat kulkas-kulkas sepertiku berada. Kulkas-kulkas yang sepertinya berumur lebih tua dariku. Kami tidak berbicara satu sama lain. Meskipun sesama kulkas, kami tidak menemukan cara untuk berkomunikasi.

Setelah berminggu-minggu aku berada di sana dan seseorang yang tak kukenal mempreteli kulit dan pantatku, lalu mencopot beberapa mur dan mengganti sesuatu di dalamnya, aku dibawa kembali kepada keluarga ini. Aku tak paham seperti apa perasaan bahagia yang terkadang disebut-sebut oleh Cinta dan Sayang dengan suara tinggi. Tapi aku menemukan arti keberadaanku di dalam keluarga ini, saat Cinta menggunakanku sebagai tempat penyimpanan makanannya sehari-hari.

Sudah lama aku tak pernah bertemu dengan Sayang, dan pada suatu malam tiba-tiba ia membuka pintuku. Perutnya benar-benar membulat, wajahnya terlihat dingin, sebeku es yang menempel di pendinginku.

“Brengsek. Kemana kau taruh soft drink-ku? Kenapa di dalam kulkas sialan ini tidak ada bir atau semacamnya?” kata Sayang dengan suara tinggi.

“Kenapa kau pulang selarut ini? dan sejak kapan kau minum Bir? Kau pasti mabuk! Mulutmu bau alkohol dan pelacur!” balas Cinta tak kalah sengit.

“Diam saja kau. Kau hanya ibu rumah tangga. Tahu apa kau mengenaiku!” kata Sayang dengan membanting pintuku keras-keras.

Beberapa hari kemudian isi perutku hanya depenuhi berbagai macam bir, melulu bir, lebih sering Bir Bintang atau Heineken. Bahan makanan segar yang telah berada lebih dulu dibiarkan saja membusuk, dan tak pernah lagi aku melihat Cinta menyentuhnya. Untuk beberapa waktu yang cukup lama aku tak lagi menemukan Cinta membuka pintuku. Tapi pada suatu malam, seorang wanita lain yang sebelumnya tak pernah berada di rumah ini  membukaku dan mengambil dua kaleng bir yang berada di dalam.

“Bir kita tinggal satu, Honey,” kata suara wanita itu suatu kali. “Apakah aku perlu membelinya lagi di supermarket terdekat. Ya ampun. Isi kulkasmu ini sudah kotor sekali. Suruhlah seseorang membersihkannya! Atau kau ganti saja dengan yang lain. Dengan yang lebih besar. Siang ini aku melihat sebuah kulkas tiga pintu yang cantik di Mal.”

Ia meninggalkanku dalam keadaan pintuku terbuka lebar. Esok hari, wanita itu kembali dengan membawa plastik berisi bir-bir kalengan. “Ya ampun. Semalaman aku lupa menutupnya,” katanya lalu berjongkok dan meletakkan kaleng-kaleng bir itu di dalamku.

“Berikan aku satu, Honey,” kata Sayang dari belakang. Mereka memanggil satu sama lain dengan nama Honey. “Bagaimana kalau besok kita melihat-lihat kulkas yang tempo hari kau lihat itu. Kulkas ini sudah begitu usang dan sudah layak dibuang.”

“Benarkah, Honey. Aku tahu aku sangat mencintaimu,” kata wanita itu memeluk Sayang dan memagut bibirnya. Tetap saja ia membiarkan pintuku terbuka.

Delapan tahun berlalu dan aku tak lagi bertemu dengan Cinta dan Sayang junior. Sudah tiga tahun berselang semenjak Cinta mengambil tomat terakhir yang membusuk di dalam perutku. Sepertinya Cinta dan Sayang junior sudah tak tinggal lagi di rumah ini. Aku lebih sering bertemu dengan wanita asing yang dipanggil Sayang dengan sebutan Honey. Dan demi Tukang yang Menciptakanku, ia selalu lupa menutup pintuku. Belakangan aku juga sering mati tanpa sebab. Dan dengan sedikit memukul dan menendang tubuhku, Sayang berhasil membuat dinginku berfungsi kembali. Beberapa perabotan yang dulu datang bersamaku kini sudah tidak ada, berganti dengan perabotan baru yang terlihat lebih cantik dan modern. Dan kau tahu, sudah dua hari di sebelahku terletak sebuah kulkas berwarna merah dengan ukuran dua kali lebih besar tubuhku. Aku ingin bertanya namanya tapi aku tak tahu cara melakukannya. Kita seperti sepasang kulkas yang tak saling kenal.

-Hizbul Ridho