Steamer La Marzocco dibenamkan ke dalam dasar jak yang telah berisi susu dingin. Sebuah tangan menarik tuasnya, dan timbul suara mendecit-decit dari dalam jak tersebut. Susu dingin dalam jak itu berputar-putar mengikuti uap panas yang menyembur di dalamnya. Tidak lama kemudian, susu itu mengembang menjadi busa yang lembut. Dengan perlahan, seseorang yang mengenakan celemek hijau menuangkan susunya ke dalam cangkir yang telah berisi dua seloki espresso. Campuran susu dan espresso itu menjadi latte dengan hati di permukaannya.
“Kau semakin mahir saja membuat latte,
But?” sahut sebuah suara yang duduk di konter bar, menyimak dengan saksama pembuatan latte seorang
barista di kafe itu.
“Bukankah aku dulu mempelajarinya
darimu, Nil?” Ribut membalas pujian teman lamanya itu dengan bertanya.
“Tentunya sekarang aku sudah lupa
melakukannya. Sudah lima tahun semenjak terakhir aku menjadi barista, dan
banting stir menjadi wartawan. Hei ngomong-ngomong, apakah tidak apa-apa aku
mengajakmu ngobrol seperti ini saat kau sedang bekerja?”
“Kau seperti baru mengenalku. Sudah
lima tahun tentunya, sekarang akulah yang memimpin kedai ini. Lagi pula partner-ku yang lain di shift ini rajin dan cekatan.”
Anil menyimak tiga orang barista
mengenakan celemek
hijau sedang sibuk melakukan rutinitas mereka. Seorang gadis manis
sedang berdiri di belakang komputer kasir, melayani para pelanggan yang sedang
mengantre. Gadis itu melayani pelanggan yang berdiri di depannya dengan senyum profesional. Di sebelah kanan gadis itu,
seorang yang lain sedang mengambil beef sausage croissant dari dalam pastry case, dan meletakkannya di dalam
oven. Di sebelah Ribut adalah seorang barista yang sedang membuat frappucino.
“Jadi sekarang, kau sudah menjadi manajer kedai ini?” kata Anil.
“Ya, belumlah. Sekarang semakin sulit
saja untuk mendapatkan promosi. Aku masih PIC, kawan. Sudah tiga tahun,” kata
Ribut melengos. “Kalau begitu, apakah kau hanya ingin bertemu denganku atau ada
seseorang yang sedang kau tunggu?”
“Aku sedang menunggu seseorang.”
“Wanita?”
“Yup.”
“Jangan bilang ibumu?”
“Tidak mungkinlah,” kata Anil terkekeh.
“Seseorang yang dekat pastinya. Wah,
temanku yang satu ini sedang menunggu pacarnya.”
Anil terdiam sebentar, dan berkata,”nyaris. Dia memang pernah jadi
pacarku. Tapi itu dulu. Sudah lama sekali. Dan sekarang kami hanya janjian
bertemu sebagai mantan. Atau lebih tepatnya sahabat lama yang sudah lama ingin
bertemu.”
“Alah. Kau bertele-tele. Aku tahu kau tak akan pernah
merindukanku. Di sini kau hanya ingin bertemu dengannya, kan. Clebek-clebek?”
Ribut coba menirukan ikan yang berenang, mulutnya mengeluarkan gelembung-gelembung udara tak kasat mata. Anil tertawa
melihat kelakar kawan lamanya itu.
Ribut kembali kepada pekerjaannya membantu seorang barista
yang kerepotan membuat kopi. Sepertinya barista itu masih baru, Anil melihat
dari gerakannya yang panik sebab menumpuknya kap kosong yang menunggu untuk diisi.
Selagi Ribut membantu rekannya membuat kopi, Anil menyeruput latte gratis pemberian
temannya itu. Bentuk hati di permukaan latte itu pun menjadi rusak. Sebuah musik
instrumental yang terdengar jazzy
mengalun di seisi kafe. Anil coba menerka-nerka, rasanya itu seperti Keong Racun yang diaransemen ulang menjadi jazz. Dibanding versi dangdut, ia lebih menikmati Keong Racun a la jazz ini. Ia teringat, Keong Racun versi jazz ini sering dinyanyikannya bersama mantan kekasih yang akan
ditemuinya ini. Jarum-jarum jam tangannya menunjuk pukul delapan lewat lima
belas. Sepertinya ia terjebak macet, pikir Anil.
“Jadi seperti apa cewek yang akan kau
temui kali ini?” tanya Ribut setelah ia pikir rekan kerjanya dapat menangani pesanannya
sendiri. “Dulu pun kau jarang bercerita mengenai kisah cintamu kepadaku.”
“Dia wanita yang cantik,” jawab Anil
sekenanya.
“Cantik seperti apa? Spesifik dong. Kambing didandani pun bisa
kau anggap cantik.”
Anil terkekeh mendengar lawakan
kawannya yang garing itu.
“Ia memiliki rambut hitam sebahu dengan
ujung bergelombang. Wajahnya agak oval. Hidungnya mancung dan mungil. Jika ia
menatap matamu tak mungkin kau tak
bergeming mengagumi keindahannya. Aku belum pernah melihat senyum
seindah itu.”
“Kau jadi mengkhayal dan mendeskripsikan
rupa kekasih orang. Itu seperti wajah yang dimiliki kekasihku. Jangan bilang
kalau kekasihku yang sekarang adalah mantanmu?”
“Tidak mungkin. Itu jelas deskripsi
wanita yang akan aku temui sekarang. Memang seperti itu. Aku belum selesai.”
Anil tampak bersemangat, setelah menyeruput lattenya ia melanjutkan, “tingginya
kira-kira sebahuku. Tak terlalu pendek untuk ukuran wanita Indonesia dan ia
jelas langsing dan padat di pinggul. Dadanya tak terlalu besar dan enak
dipandang. Dan kulitnya itu But, putih dan lembut dan licin. Seekor semut bisa
terpeleset kalau berjalan di kulitnya.”
Ribut tertawa.
“Mentang-mentang. Hebat betul penjelasanmu
itu. Tapi untungnya deskripsimu meleset. Setidaknya hampir. Cewekku agak gemuk.
Tapi justru itu yang aku suka darinya.”
“Aku tahu itu. Aku masih ingat kau pernah
ditolak rekan kerja kita dulu yang beratnya hampir satu kwintal,” kata Anil
cekikikan.
“Lebay. Tubuhnya hanya semok dikit,” Ribut
terhenti. “Nil, dengar deh aransemen musik ini. Kau
tahu, semua lagu ini awalnya dangdut yang dijadikan jazz. Dan kau tahu, cewekku
sangat suka dangdut yang diaransemen menjadi jazzy seperti ini. Aku lupa
judulnya. Apa ya judulnya?”
“Keong Racun?”
“Iya. Tepat sekali. Dan kenapa kau
bisa tahu?”
“Karena mantanku menyukai lagu ini dalam versi jazz-nya.”
“Ya Tuhan. Aku tak mau berpacaran
dengan cewek yang pernah menjadi mantanmu. Tak mungkin cewekku itu mantanmu.”
“Aku tak tahu. Wanita yang sedang
kutunggu sekarang tak pernah bercerita kalau telah memiliki pacar. Lagipula, pacarmu itu agak semok?”
“Memang. Siapa pun bisa menyukai lagu apa pun. Lagipula, Keong Racun lagu yang populer.”
Setelah itu, percakapan mereka terputus.
Ribut harus kembali kedalam ruang belakang menyelesaikan laporan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Nanti kita lanjutkan lagi, aku jadi semakin curiga dengan cewek yang sedang kau
temui ini, kata Ribut, lalu ia bergegas menuju pintu yang berada di belakang bar.
Anil berpikir mengenai kebetulan-kebetulan kemiripan mantannya itu dengan
kekasih Ribut. Anil baru menjalin komunikasi kembali dengan mantannya dua
minggu belakangan. Di dalam obrolan media sosial, mereka membicarakan banyak hal, dan Anil merasa
kembali terhubung
dengannya. Anil berniat kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya itu.
Kalau pertemuan kali ini mereka menemukan kembali keterhubungan yang dulu pernah sempat
membuncah, Anil berencana segera melamarnya. Anil tahu itu, kenangannya kepada Dewi tak begitu saja bisa
hilang, meskipun setelah mereka berpisah, Anil sudah beberapa kali menjalin
kasih dengan wanita lain. Namun ia belum pernah merasakan cinta sebesar ketika ia
bersama Dewi. Dan di percakan lewat media sosial akhir-akhir ini, Dewi mengaku masih melajang. Pertemuan kali ini menjadi kesempatan bagi Anil untuk kembali
menumbuhkan buncah-buncah kehangatan yang dulu pernah ia dapat dari mantan
kekasihnya itu.
Anil kembali melihat jam tangannya. Dewi sudah begitu telat
untuk sampai di kafe tempat mereka berjanji bertemu ini, yang kebetulan adalah kafe
tempat Anil menjadi barista dulu. Adakah macet sebegini lama, pikir Anil
gelisah. Mungkin saja. Kemacetan
di ibu kota ini semakin absurd saja.
Sebab terlalu asyik
berbicara dengan Ribut, Anil hingga lupa, seharusnya ia bisa menghubungi Dewi
dengan gawainya.
Ia pun menekan nomor kontak Dewi, dan menunggu suara wanita menjawab dari
balik sana. Sedang di mana sekarang, kata Anil setelah terdengar kata halo
seorang wanita. Sebentar lagi aku sampai, kata suara itu. Aku sudah berada di
pelataran parkir dan segera menuju kesana. Maaf terlambat. Tidak apa-apa, seorang
teman lama menemaniku menunggumu, kata Anil menjawab, lalu mengakhiri telepon setelah ia berkata, aku duduk di
konter bar.
Anil meletakkan gawainya di atas meja, lalu menyeruput latte-nya. Ribut kembali dari
pekerjaanya.
“Apa yang akan kau lakukan seandainya
cewek yang akan kau temui ini adalah kekasihku?” sekonyong-konyong Ribut bertanya
seperti itu dengan raut wajah serius.
“Tentunya aku akan merebutnya darimu. Kalau perlu kita bertengkar di kafe ini. Dan siapa yang menang dialah
yang mendapatkannya.”
“Kau bercanda.”
“Aku bercanda.”
Anil dan Ribut pun tertawa bersama.
Rasanya konyol sekali jika mereka bertengkar hanya demi seorang wanita. Tapi,
Anil serius ingin melamar Dewi. Dan tanpa sepengetahuan Anil pun, Ribut telah
menabung berencana melamar kekasihnya. Anil teringat, kenapa tidak dari tadi saja
menyebut nama mantan kekasihnya. Betapa bodohnya diriku, katanya dalam hati sambil menepuk jidat. Ia pun mengumpat kepada Ribut
atas kebodohan yang sama.
“Kalau begitu. Biar jelas. Siapa nama
kekasihmu ini?”
Belum sempat Ribut menjawab, sebuah
suara wanita menyahut dari belakang. Seorang wanita yang mengenakan dres berwarna putih, bermotif bunga. Wanita itu memiliki rambut panjang sebahu yang
bergelung di
ujungnya. Hidungnya tirus mungil. Sepasang mata dan bibir wanita itu memantulkan sisa-sisa keindahan. Wajahnya oval, dan terlalu oval kalau benar-benar dilihat, sebab dagunya terbalut lemak berlebih. Lehernya
berlipat-lipat. Kulitnya memang putih mulus, namun terlalu bengkak di daerah
lengan dan betisnya yang telanjang. Anil seperti melihat orang lain. Ia
pangling dan menyebut nama Dewi dengan terbata. Wanita dengan tubuh besar itu
tersenyum kepadanya. Ia merasa tertipu dengan foto wanita ramping yang terdapat di akun
media sosial mantan kekasihnya.
“Syukurlah,” kata Ribut setelah terkesima
melihat kemunculan sesosok wanita yang menyapa temannya.
Dewi mendekati bangku di sebelah Anil duduk. Ia kesulitan untuk duduk di bangku bar yang agak tinggi itu. Dewi memandangi
Anil yang masih terkesima dengan kedatangannya. Ternyata, lama tak bertemu, kau
sudah banyak berubah, katanya. Anil kembali menyeruput latte-nya yang telah
mendingin. Tak
ada lagi hati di permukaannya.
-Hizbul Ridho